Kesimpulan
Catatan refleksi dalam tulisan ini lebih berfokus pada partisipasi politik, representasi politik, serta implikasi representasi politik kaum perempuan di Kabupaten Jayapura pasca pemilu legislatif 2014. Aspek afirmasi (kuota keterwakilan perempuan 30%) yang ditujukan sebagai stimulus dalam meningkatkan partisipasi politik perempuan hendaknya tidak hanya sekedar menjadi syarat yang harus dipenuhi setiap partai politik. Partai politik memiliki peran penting dan tanggungjawab lebih dalam mempersiapkan kaum perempuan sebagai kader-kader yang berkompeten, bukan asal-asalan memenuhi kuota 30% yang menjadi syarat mutlak.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjwj1qcqoQ8uZjVN5qRUJAS90u8kWEixVOIY2zdgjakTr97ZH6AKj5F3Bhut8kYWNMVLxXRlwPyz7HpoN6bvahwHr8_gYfODTTYQojQHWoQQQ9goUaBfc15Pj14IhPG6oJ_E24kPbSQOV66/s320/perempuan.jpg) |
Foto : rumahpemilu.org |
Budaya patriarki ternyata memiliki pengaruh cukup kuat terhadap orientasi masyarakat dalam memilih wakilnya di parlemen. Hal ini berdampak pada jumlah representasi perempuan yang hanya mampu merebut satu kursi di DPRD Kabupaten Jayapura. Sekalipun jumlah partisipasi perempuan yang menjadi calon anggota legislatif telah memenuhi syarat (keterwakilan minimal 30%), namun jumlah tersebut tidak mampu mendongkrak keterwakilan perempuan di parlemen karena orientasi politik masyarakat khususnya kaum perempuan di Kabupaten Jayapura masih terjebak oleh budaya patriarki. Masyarakat Kabupaten Jayapura perlu mendapat pendidikan politik tentang bagaimana menentukan pilihan partai dan wakil legislatif. Pilihan yang diambil oleh masyarakat khususnya pemilih perempuan harus didasari oleh pertimbangan rasional serta melihat track record calon legislatif yang nantinya mampu memperjuangkan aspirasinya sebagai kaum perempuan yang selama ini dinomorduakan.
Minimnya representasi perempuan di parlemen berimplikasi terhadap penyelesaian masalah-masalah yang selama ini dihadapi oleh kaum perempuan di Kabupaten Jayapura. Logika kesetaraan dalam kekuasaan menjamin satu hal, jika jumlah perempuan di parlemen setara dengan jumlah laki-laki, maka otomatis setiap kebijakan yang dikeluarkan berpeluang pro terhadap kelangsungan hidup perempuan. Namun, minimnya wakil perempuan di DPRD kabupaten Jayapura berdampak negatif terhadap penyelesaian masalah-masalah perempuan di Kabupaten Jayapura. Masalah klasik bagi perempuan seperti tingginya angka kematian ibu serta frekuensi kekerasan dalam rimah tangga dan pelecehan seksual semakin hari semakin meningkat.
***
Daftar Pustaka
Ardi, Anis Maryuni, 2014, "Perempuan di Legislatif: Advokasi Perempuan Legislatif bagi Kepentingan Dapil di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Timur". Jurnal Politik Muda Vol. 3 No. 3 pp. 303-318. Diakses tanggal 24 Maret 2015.
Darwin, Muhadjir, 2004, "Gerakan Perempuan di Indonesia dari Masa ke Masa", Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM Vol. 7 No. 3 pp. 283-294, diakses tanggal 13 Oktober 2013.
Djoharwinarlien, Sri, 2012, Dilema Kesetaraan Gender: Refleksi dan Respons Praksis, Yogyakarta, Center for Politics and Government (PolGov) Fisipol UGM.
KPU Kabupaten Jayapura, 2014, Laporan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten Jayapura Pemilu Tahun 2014.
Mansoben, J. R., 1994, Sistem Politik Tradisional Irian Jaya, Jakarta, LIPI Press.
Norris, Pippa, dan Joni Lovenduski, 1995, Political Recruitment, Cambridge, Cambridge University Press.
Phillips, Anne, 1995, The Politics of Presence, New York, Oxford University Press.
Pitkin, Hanna, 1967, The Concept of Representation, Berkeley, California University Press.
Ratnawati, 2004, "Potret Kuota Perempuan di Parlemen", Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM Vol. 7 No. 3 pp. 295-314, diakses tanggal 20 Oktober 2013.
Siregar, Ashadi, 2004, "Ketidakadilan Konstruksi Perempuan di Film dan Televisi",
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM Vol. 7 No. 3 pp. 335-350.
No comments: