Gerakan Oposisi Di Masa Orde Baru

Edward Aspinall. 2005. Opposing Suharto: Compromise, Resistance, and Regime Change in Indonesia. Stanford, California: Stanford University Press.


----------

Dalam buku ini, Aspinall menjelaskan tentang kelompok-kelompok penentang Soeharto yang diramu dengan menunjukkan bagaimana kelompok ini melakukan perlawan, dan bagaiman elit-elit melakukang kompromi politik dan selanjutnya menunjukkan bagaimana rezim berubah di Indonesia.

Penjelasan Aspinall bahwa tahun 1970-an akhir adalah munculnya friksi di dalam Orde Baru yang dimulai dengan kritik yang dilakukan oleh kelompok Barisan Sakit Hati yang merupakan kumpulan orang-orang yang mendukung Orde Baru di awal berdirinya. Ini didasari oleh kekecewaan terhadap rezim Soeharto, dimana korupsi merajala dimana-mana terutama Soeharto sendiri dan kroninya. Serta dendam dari kelompok sakit hati ini lantaran tersingkir dari kedudukan dalam Pemerintahan dan Militer, setelah bentrok dengan kepentingan Soeharto dan kroninya. Serta penyalahgunaan kekuasaan dan konsolidasi kekuasaan Soeharto yang menghegemoni serta mempersempit representasi kelompok-kelompok yang ada.

Pada kurung waktu 1970-an akhir, gaya oposisi masih bersifat gerakan moral dan mengajukan petisi terhadap pemerintah. Selanjutnya kelompok ini lebih dikenal dalam istilah Petisi 50 yang didirikan pada tanggal 5 Mei 1980 dimana tokoh-tokohnya adalah Nasution, Hoegeng Santoso dan Ali Sadikin. Para penandatangan petisi ini menyatakan bahwa Presiden telah menganggap dirinya sebagai pengejawantahan Pancasila dan Soeharto menganggap setiap kritik terhadap dirinya sebagai kritik terhadap ideologi negara Pancasila. Pada waktu ini lebih pada penggunaan Pancasila sebagai alat untuk mengancam musuh-musuh politiknya dan dijadikan sebagai alat untuk membungkam gerakan oposisi dengan cap anti-Pancasila.

Pada akhir 1980-an, kelompok reformis yang semakin menyuarakan perubahan dan pergantian rezim, sebelum terjadinya ketidakstabilan politik. Dimana anggota kelompok ini adalah para intelektual, mantan pejabat negara, pejabat militer, tokoh Islam. Seperti halnya Abdurrahman Wahid lewat Forum Demokrasi dan YKPK (Yayasan Kerukunan Persaudaraan Kebangsaan) dimana basisnya adalah pensiunan militer. Soemitro sendiri mengungkapkan bahwa perubahan dibutuhkan untuk menjaga stabilitas negara dan menjaga berbagai pencapaian yang telah diraih oleh Orde Baru, dimana ia menawarkan kepada pemerintah agar lebih memberikan ruang kebebasan bagi Pers, menyelenggarakan suksesi Presiden, mengurangi penunjukan anggota di MPR/DPR, dan mengakhiri “Floating Mass”.

Pada tahun 1970/1980-an munculnya kelompok proto-oposisi seperti LSM yang sifatnya masih informal dan menggunakan pendanaan yang bersumber dari anggota mereka sendiri. LSM ini lebih konsen kepada issue marjinalisasi dan skalanya belum terlalu luas. Ini berbeda ketika dekade 1980/1990-an, dimana kelompok LSM ini sudah mencari sumberdana dari luar dan mengangkat issue yang lebih sensitif dimana mulai mengkritisi kebijakan negara dan kegiatannyapun mulai skala luas. Misalnya, dengan mendorong proses demokratisasi dan melakukan konsolidasi gerakan. Termasuk LBH yang didukung oleh Adnan Buyung Nasution, dimana misi awalnya masih bersifat developmentalis yang juga mendapat support dari pemerintah, termasuk Ali Sadikin. Pendirian LBH lebih menekankan pada penguatan sistem hukum, terjaminnya kebebasan sipil, pemisahan kekuasaan, dan akuntabilitas pemerintah.

Aspinal seanjutnya menjelaskan tentang gerakan mahasiswa atau aktivisme mahasiswa, yang berevolusi dari kekuatan moral menuju embrio gerakan politik. Pada tahun 1970/1980, gerakan mahasiswa masih mengusung issue yang sifatnya nasional, seperti korupsi, penanganan pemilu 1971, pembangunan TMII dan kebijakan pembangunan. Pada dekade ini, gerakan mahasiswa masih berpusat di kota-kota besar seperti kota Bandung dan Jakarta dan cara penyalurannyapun masih lewat dewan mahasiswa. Namun ada pergeseran setelah tahun 1980/1990, diamana issue yang diusung lebih pada issue lokal seperti masyarakat miskin, masalah internal kampus yang menyangkut biaya kuliah, korupsi, fasilitas yang tidak memadai, ruang politik di kampus, pencabutan NKK/BKK, pembebasan aktivis kampus yang diadili serta masalah Hak Asasi Manusia (HAM) yang meliputi pelanggaran di Timur Timor, Irian/Papua, Aceh dan pembantaian ‘65-66. Pada dekade ini, gerakan mahasiswa menyebar hampir di seluruh kota-kota besar dan dilakukan melalui saluran komite aksi dan bermunculannya organisasi-organisasi massa, seperti kelompok studi, pers mahasiswa (Politika di Universitas Nasional Jakarta, Ganesha di ITB, Arena di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), LSM dan Organisasi massa seperti Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta(FKMY) dan Front Indonesia untuk Pertahanan Hak Asasi Manusia (INFIGHT), serta koalisi dari beberapa aktivis LSM yang lebih kecil, terutama SKEPHI Indro Tjahjono dan banyak kelompok mahasiswa lainnya. Pada tahun 1990-an sampai akhir, gerakan mahasiswa lebih radikal, dimana issue bukan hanya berkembang di kampus akan tetapi lebih luas meliputi kelompok buruh dan tani. Serta penyalurannyapun lebih menggunakan cara-cara dengan memobilisasi massa untuk mendesak Soeharto turun dari jabatannya.

Aspinall juga menjelaskan tentang naik turunnya Megawati Soekarnoputri sebagai ketua Partai Demokrasi Indonesia (PDI). PDI sendiri berdiri pada tanggal 10 Januari 1973 sebagai penggabungan dari 5 partai, yaitu; PNI, MURBA, Parkindo, Partai Katolik dan IPKI. Awal terbentuknya PDI masih konsen pada upaya knsolidasi dari lima partai sekalipun ada konflik antara kubu PNI dan partai lainnya. Selanjutnya pada kongres tahun 1976 sebagai kongres pertama kepemimpinan dipegang oleh Sanusi dan Usep dan berturut-turut dipegang oleh Sunawar Sukowati pada kongres kedua tahun 1981. Pada kongres ketiga tahun 1986 terjadi deadlock dan kepengurusan disusun oleh pemerintah. 

Megawati sendiri baru muncul di tahun 1987, dan selanjutnya dengan cepat mendapatkan dukungan yang kuat dari kader PDI untuk mengambil alih posisi ketua nantinya di kongres Surabaya. Kemunculan Megawati dianggap sebagai kebangkitan Soekarno, dikarenakan megawati sendiri merupakan anak kandung dari presiden Soekarno. Pada saat kongres di Surabaya, Megawati terpilih sebagai Katua Umum PDI dan hasil kongres Surabaya ini tidak mendapat dukungan dari pemerintah yang berujung pada penyerangan terhadap kantor PDI tahun 1996.

Pemerintah yang tidak mendukung kepemimpinan Megawati sekalipun dukungan dari orang – orang lain terhadapnya semakin kuat, ini disebabkan oleh sikap Suharto yang tidak menghendaki adanya rivalitas di pentas politik nasional. Namun demikian friksi di elit penguasa (anatar sekuler vs sektarian) menjadi moment bagi Megawati untuk mendapatkan dukungan dari para elit nasionalis. Dan pada era reformasi, dukungan terhadap Megawati semakin luas dan basisnya adalah kelompok Soekarnois, akademisi, mahasiswa, abangan, preman dan masyarakat marginal lainnya.

Ketika kongres PDI dilaksanakan di Medan pada tanggal 20 Juli 1996, Suryadi menggantikan Megawati, proses ini merupakan skenario pemerintah. Di Jakarta Megawati memberikan pidato yang memperingatkan massa agar dapat mengendalikan emosinya dan mengajak masyarakat untuk menegakkan demokrasi. Dan puncak dari resistensinya adalah bentrokan yang terjadi pada tanggal 27 Juli 1996 antara massa dan tentara, dimana lebih dari100 orang terluka dan lebih dari 50 orang ditahan. Sekalipun beberapa perwira militer menganggap bahwa “penggusuran” terhadap Megawati akan menimbulkan opini negatif dari publik terhadap pemerintah. Sebenarnya pemerintah memiliki motif yang kuat untuk melawan Megawati, sebab dikhawatirkan suara PDI akan meningkat secara signifikan sehingga merugikan Golkar. Dengan sendirinya, Soeharto khawatir jika suara PDI meningkat, maka Megawati akan mencalonkan diri sebagai Capres, sedangkan Soeharto menginginkan dirinya sebagai Capres tunggal. 

Pada awal 1990, Soeharto berusaha mengatasi perpecahan dalam elit yg berkuasa. Adanya friksi dalam rezim Soeharto, Moerdani,cs merasa tidak puas dengan posisi yg ada dalam birokrasi dan legislatif. Pemilihan Presiden 1998, banyak manuver yang dilakukan untuk mengisi jabatan wakil presiden. Adanya 3 kelompok perwira ABRI , yang pertama kelompok Feisal Tanjung dan Syarwan Hamid yang berhubungan erat dengan Islam modernis (ICMI). Kedua, kelompok Hartono dan Prabowo Subianto yang membangun jaringan dengan kelompok Islam miltan. Ketiga, kelompok Wiranto dan SBY, mereka dianggap sebagai kelompok yang relatif profesional dan sering disebut dengan kelompok merah putih. Sebenarnya, faksi-faksi yang ada dalam tubuh ABRI lebih pada memposisikan diri untuk persiapan segala kemungkinan pasca-Soeharto.

Namun, ABRI yang kembali solid, memungkinkan Soeharto untuk melakukan kembali pemaksaan dalam menangani perlawanan politik, dengan sendirinya kelompok oposisi mulai mencari cara untuk bekerjasama melawan rezim Soeharto. Seperti halnya, aktivis PRD dan SMID mulai membahas kemungkinan bekerjasama dengan PDI, sebab para aktivis PDI dan massa tidak berpengalaman dalam mengorganisir tindakan (ini juga sebagai imbas dari kongres PDI di Medan) serta Abdurrahman Wahid dan beberapa organisasi perempuan,mahasiswa dan LSM yang memproklamirkan MARI pada pertemuan di kantor LBH, dimana menunjukkan bahwa mereka membela Megawati.

Pada tahun 1997, dimana ketika terjadi krisis ekonomi yang menyebabkan jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap dolar, kredit macet, penutupan 16 bank yang tidak sehat, termasuk milik keluarga Soeharto (salah satunya milik Bambang yakni Bank Andromeda), melonjaknya harga barang kebutuhan pokok, PHK dan macetnya sektor industri dan jasa yang menjadi andalan ekspor selama ini. Inilah yang menyebabkan terjadinya kerusuhan sporadis (serangan dan penjarahan terhadap etnis Cina) di perkotaan yang menandai kemerosotan kemampuan rezim untuk menjaga stabilitas.

Dalam penutupnya, Aspinall menjelaskan bahwa aturan yang didikte dan dibawah pengaruh dominasi pribadi Soeharto selama rezim berjalan serta ketidakmampuannya untuk membedakan posisisnya sebagai kepala negara dengan kepentingan keluarganya serta orang-orang terdekatnya secara keseluruhan, menyebabkan demokratisasi yang diharapkan akan mustahil terjadi. Dan terutama ada proses “sultanization” dalam rezim selama dekade terakhir, serta penyempitan ruang toleransi bagi oposisi dalam tiga atau empat tahun terakhir. 

Ketika kelompok-kelompok elit penguasa menunjukkan tanda-tanda dukungan kearah reformasi politik selama tahun keterbukaan dari awal 1990-an, dengan sendirinya mereka akan dihilangkan oleh Soeharto dari kekuasaan. 

Pada tahun-tahun akhir, kelompok-kelompok anti rezim seperti mahasiswa dan intelektual mulai memobilisasi pembangkangan. Ditambah dengan lapisan kelas menengah dan tokoh – tokoh seperti mantan teknokrat dan pengusaha, ikut menyuarakan kegelisahan mereka. Akhirnya, tekanan dari bawah semakin meluas serta elit penguasa menjadi retak dan menjauhi presiden.

Pengunduran diri Soeharto, melahirkan euforia politik dimana-mana. Sebuah semangat protes tersebar di seluruh wilayah yang ditandai dengan; petani menempati tanah yang sudah lama diambil dari mereka oleh negara, protes di pusat-pusat regional memaksa administrator lokal yang korup mengundurkan diri, dan partai politik, serikat buruh, kelompok antikorupsi, dan organisasi baru lainnya muncul di berbagai daerah. 

Pergantian rezim dari Soeharto ke Habibie , ditandai dengan tetap adanya orang-orang di masa Orba dan membuka atau menjalankan liberalisasi politik sebagimana yang terjadi tahun 1955. Namun, sebagian masyarakat melihat Habibie hanya sebagai perpanjangan sah dari Orde Baru, dan ia harus menghadapi protes dari bawah yang menginginkan agar penghapusalan secara menyeluruh sisa – sisa orde baru dengan jalan reformasi total. Selanjutnya, yang dianggap sebagai sisa-sisa Soeharto (orang-orang yang paling dekat) oleh Habibie dikeluarkan dari pemerintahan, hal ini dilambangkan dengan diberhentikannya Prabowo. Namun demikian, militer-birokrasi rezim tetap utuh. 

Langkah selanjutnya yang ditempuh oleh Habibie adalah tahanan politik dikeluarkan, mengendurkan pembatasan pada tenaga kerja serikat buruh dan partai-partai politik, dan penghapusan kontrol terhadap pers. Langkah yang paling jauh adalah menawarkan untuk mengadakan pemilihan umum yang bebas dan adil sebagai cara untuk menyelesaikan krisis politik.

Kelompok oposisi, yang sebelumnya gencar menyuarakan pembersihan sisa-sisa rezim, tidak lagi solid dikarenakan mereka lebih berkonsentrasi untuk pemilu 1999. Pemilu Juni 1999 sebagai langkah awal liberalisasi politik, menempatkan lawan-lawan Soeharto mengambil posisi tampuk pemerintahan, seperti Gusdur dan Megawati. Namun, terpilihnya Gusdur hanyalah alternative agar Megawati tidak memenangkan yang dikhawaatirkan akan menghabisi militer dan Golkar. Terpilihnya Gusdur dengan sendirinya wajib mempertahankan Golkar, militer, dan kelompok Orde Baru lainnya didalam pemerintah. Ketika Megawati menggantikan dia dua puluh bulan kemudian, Megawati juga melakukan hal yang sama. Hasilnya adalah menghalang-halangi dan menyabotase upaya reformasi dari dalam dan ketidakmampuan pemerintah baru untuk menarik garis yang jelas antara Orde Baru yang otoriter masa lalu dan masa depan demokrasi.

Namun, periode ini juga hampir sama dengan rezim Soeharto, dimana korupsi tetap meraja lela termasuk politik uang, perubahan yang terjadi secara mendasar hanyalah reformasi dibidang konstitusi dan menghukum mereka yang bertanggung jawab atas korupsi masa lalu dan pelanggaran hak asasi manusia, dan membendung penyebaran konflik komunal serta gerakan separatis.

***
Gerakan Oposisi Di Masa Orde Baru Gerakan Oposisi Di Masa Orde Baru Reviewed by Pondok Kanal on 1/15/2016 10:46:00 AM Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.