Komunitas Berpagar Makassar

Kemunculan komunitas berpagar (gated communities) adalah bagian dari gejala meningkatnya pertumbuhan ekonomi warga. Karena peningkatan itu juga, mendorong warga kota memiliki keinginan untuk mendapatkan rasa aman, baik sebagai individu maupun atas kepemilikannya.

Disisi lain, para pemodal memahami itu sebagai peluang pasar untuk mengakumulasi kapital yang mereka miliki, terutama sekali masalah keamanan. Tentunya, hadirnya komunitas berpagar adalah relasi yang tak terelakkan antara tingkat ekonomi dan kebutuhan keamanan warga dengan bagaimana pemodal menerjemahkan itu.

Foto : rumahminimaliskeren88.blogspot.com
Komunitas Berpagar

Komunitas berpagar merupakan satu fenomena dimana penciptaan ruang social yang terkotak-kotakkan dibangun secara fisik dan diwaktu bersamaan menciptakan warga yang berjarak. Komunitas berpagar atau perumahan dengan praktik spasial didalamnya, sangat berhubungan dengan bagaimana satu ruang diperlakukan. Ruang dapat merepresentasikan kelompok tertentu, dan karena menjadi representasi maka ia sekaligus mempertegas jarak status. Ini bisa dilihat dari varian beberapa perumahan. dan di Hertasning-Samata menjadi salah satu contohnya. Perumahan Citra Land dengan perumahan lain disekitarnya memiliki tingkat harga yang berbeda. Dengan sendirinya, tingkat harga mengafirmasi golongan yang mana saja yang mampu menempati perumahan tersebut. Dari situ dapat dipastikan jika warga miskin kota tidak dapat mengakses harga demikian dikarenakan daya beli mereka. 

Olehnya itu, ruang-ruang elitis demikian melahirkan rumah-rumah warga miskin kota menjadi oposisi-ruang yang terpaksakan karena didefinisikan sebagai “kumuh”. Sementara perumahan dibangun dengan penggambaran sebagai hunian yang modern, dimana keamanan dan kenyamanan terjamin didalamnya, hal ini terlihat dengan penggunaan sistem portal yang dijaga oleh Satpam. 

Dengan menggunakan sistem portal disetiap pintu masuk, maka dengan sendirinya portal menjadi kran seleksi antara siapa yang boleh masuk dan tidak. Kehadiran sistem portal demikian dapat dipahami bahwa (kalau boleh dikatakan) perkembangan kota kita bergerak kearah yang liar. Portal mengindikasikan adanya perasaan khawatir, adanya bahaya yang mengancaman bagi penghuni kompleks perumahan. Olehnya itu, menjadi wajar jika komunitas berpagar melakukan seleksi ketat dengan “tamu wajib lapor”.

Komunitas berpagar bukan hanya terjadi di Makassar, namun menjadi tren global. Di Amerika Serikat, fenomena ini menjadi pembatasan secara fisik antar golongan kaya-miskin maupun rasial (Blakely & Snyder dalam Widhyharto, 2009: 205). Konteks Makassar sendiri, konsep rasial tidak akan kita jumpai akan tetapi kemungkinan mengikuti alur kaya-miskin itu ada. Disinilah perlunya satu penelitian komprehensif bagi komunitas berpagar di Kota ini. 

Perebutan Ruang

Hertasning-Samata sebagai salah satu lahan persawahan yang tersisa di kota ini tidak dapat menghindar dari ekspansi kapital. Semakin hari jumlah sawah semakin menyusut akibat gencarnya pembangunan perumahan. Ruang agraris disulap menjadi ruang hunian mewah yang membawa konsekuensi sosial. Peran petani tergantikan oleh peran kapital, dan sawah menjadi ruang pertarungan antara bertahan atau menyerah terhadap kekuatan kapital.

Petani-petani yang kalah tersingkirkan dan untuk menunjang kehidupan mereka, maka hasil dari penjualan sawah dijadikan modal untuk membuka usaha baru yang belum tentu mereka menguasainya. Sementara pemilik kapital dengan cepat dapat mengakumulasi kekayaannya dari hasil penjualan property yang dibangun diatas lahan persawahan. Setelah dibangun menjadi perumahan yang mewah, petani yang kalah tidak dapat lagi mengakses ruang yang pernah mereka punya. 

Para petani yang kalah menjadi oposisi dari kemewahan itu, mereka tersingkirkan atau sekedar bertahan dengan kampung yang mereka tempati. Sementara disebrang pagar sana, ada kemewahan yang menjadi simbol bagi status sosial yang ada.

Masa Depan Kota 

Kemenangan kapital telah secara tidak langsung berhasil menciptakan komunitas berpagar. Ruang (sawah) yang merepresentasikan kelompok petani kini jatuh kedalam ruang elitis. Lalu pertanyaan yang muncul adalah apakah kota kita ini betul-betul bergerak kearah inovasi dengan konsep-konsep hunian yang beragam?. Jika dari segi arsitektur boleh dikatakan kita bergerak searah (inovatif). Namun yang perlu disadari bahwa arsitektur tidak boleh mengabaikan persoalan sosial. Bahwa menjamurnya komunitas berpagar dengan sendirinya berpotensi secara luas melahirkan ketegangan sosial dikarenakan melebarnya kesenjangan yang terjadi, baik antara kaya – miskin ataupun antara griya yang satu dengan griya yang lain. Dan bisa jadi tawuran antara kompleks yang biasanya membayangi Makassar, tidak tertutup kemungkinan juga akan merambah pada komunitas berpagar dimasa mendatang.

Menyikapi komunitas berpagar, menurut Widhyharto (2009:228) setidaknya ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu spasial (keruangan) dan sosial. Dari aspek spasial, komunitas berpagar berpotensi menciptakan tata kota yang tidak beraturan dikarenakan perencanaan kota yang kurang baik dan tidak terintegrasi, termasuk didalamnya privatisasi ruang publik yang tidak terkendali. Sementara dari aspek sosial, komunitas berpagar berpotensi besar dalam menciptakan status yang mengikuti pola kaya-miskin yang berdampingan secara terang-terangan dan sentimen asli-pendatang, jika demikian maka ketegangan social sangat dimungkinkan dimasa mendatang. Alih-alih menciptakan tatanan sosial masyarakat baru yang harmonis, justru sebaliknya akan melahirkan kerentanan sosial.

***

Referensi

Widhyharto, Derajad S. 2009. “Komunitas Berpagar: Antara Inovasi Sosial dan Ketegangan Sosial (Studi Kasus Komunitas Berpagar di Propinsi D.I Yogyakarta, Indonesia)”. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 13, Nomor 2, November 2009.
Komunitas Berpagar Makassar Komunitas Berpagar Makassar Reviewed by Pondok Kanal on 1/15/2016 10:58:00 AM Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.