Mati satu, tumbuh seribu. Tidak hanya menemukan relevansinya untuk satu pengharapan dari keputusasaan. Tapi mati satu tumbuh seribu, dapat menjadi gambaran bagi kekerdilan sikap kita atas pengrusakan alam. Ya benar, pohon yang ditebang dapat tergantikan beribu tumbuhan beton dimana-mana. Hingga pada akhirnya hijau dan kesejukan menjadi kenangan, entah akan berjumpa kembali dihari esok atas hadirnya kesadaran ekologis kita. Atau malahan lenyap sama sekali bersama sisa-sisa akar yang ditumbuk beton yang menohok kedalam dasar.
Kerakusan kita atas konsumsi ruang yang menggila, juga dapat kita saksikan perubahan lanskap di Hertasning Baru. Beberapa tahun yang lalu kita masih menyaksikan sawah yang terhampar luas. Dan hari ini kita menyaksikan bagaimana area sawah semakin menyusut, tergantikan hutan beton. Inilah gambaran kota kita hari ini. Kemajuan ditandai dengan keterpesonaan atas arsitektur beton, melampaui imajinasi kita akan alam bebas yang rimbun kehijauan. Tapi mungkinkah ketakjuban seperti ini hanya didapati di negara berkembang, sementara di negara yang cukup maju semakin memikirkan lingkungan yang hijau.
Menyusutnya area persawahan bukanlah keajaiban dimana selaksa tanah tiba-tiba ditutupi bangunan dari langit. Bukanpula peristiwa dimana Jin Ifrit memindahkan istana Ratu Saba’ dalam sekejap, lalu tiba-tiba hadir dihadapan Sulaiman as. Ini adalah proses terencana yang didorong oleh kerakusan manusia itu sendiri dibawah bayang-bayang profit yang menggila.
Sawah memang bukanlah ruang alamiah tak terjamah, tapi lahan produksi bagi manusia-manusia yang menggantungkan hidupnya atas tanah. Lalu dimana kini rimbanya manusia tanpa tanah (sawah) itu?. Mau tidak mau mereka harus minggat, sebagai konsekuensi logis dari transaksi. Dan sawah itu sekarang berwujud hutan beton; perumahan, ruko dan toko.
Peristiwa ini bukanlah peristiwa biasa tanpa dampak, proses perubahan ini akan menciptakan patahan sejarah dalam ingatan kolektif para petani dan generasinya. Kelak, generasi dimasa mendatang yang tidak bersinggungan dengan perubahan ini, akan terdistorsi dari memori romantisme atas hijau-kuningnya padi di Hertasning Baru yang masih tersisa hari ini. Siapakah yang bertanggung jawab atas perubahan ini?.
Kita sama-sama menyaksikan satu epos dalam gelanggang politik Indonesia, bahwa –kesejahteraan - petani dan sawahnya hanya menjadi trending topik dimasa kampanye dan mati dalam riuh gegap gempita kemenangan. Lalu kemana melayang janji kesejahteraan petani?. Sawah di Hertasning Baru tetap lestari jika kesejahteraan terjamin bagi tuannya.
Jim Ife dan Frank Tesoriero dalam bukunya Community Development: Community-Based Alternatives in an Age of Globalisation (2006) menyebutkan dengan bersandarkan pada beragam perspektif ekologis dan keadilan sosial. Bahwa perubahan ekologis atau alih fungsi lahan diakibatkan oleh ekspansi kapitalisme dan buruknya satu orde(sistem). Dan sisi lain juga bersinggungan pada keadilan sistem atas satu masyarakat.
Perubahan sosial, ketika kita menemukan (mantan) petani tiba-tiba menjadi tukang becak. Atau menjadi juragan di pasar-pasar. Ini diawali kerawanan subsistensi mereka. Ya, kerawanan subsistensi ini ketika lahan mereka semakin tidak produktif. Mengapa?, karena sawah mereka dikepung pemukiman yang dibangun oleh kapital. Sawah mereka terancam limbah rumah tangga. Konsekuensinya, panen tidak menjanjikan bagi pemenuhan kebutuhan hidup.
Seorang petani di pematang sawah Hertasning Baru hanya dapat bertahan sedapatnya, ditengah gempuran kapital yang dapat menyulap sawah menjadi hutan beton. Hanya dapat menanti harap yang tak kunjung tiba, janji sistem atas kesejahteraan lewat kebijakan yang berpihak atas kelangsungan pertanian mereka.
Ya, sawah di batas kota. Menanti kematiannya di bawah pesona diksi kemajuan pembangunan. Dan begitupun tuannya, menanti detik-detik akhir dari perpisahan yang menyakitkan, lantaran janji kesejahteraan petani masih tersimpan dalam teks visi-misi atau malahan pergi bersama hamburan retorik dilautan massa kampanye.
***
Referensi
Ife, Jim dan Frank Tesoriero. 2006. Community Development: Community-Based Alternatives in an Age of Globalisation. Frenchs Forest, N.S.W. : Pearson Australia.
Pembangunan dan Sawah di Batas Kota
Reviewed by Pondok Kanal
on
1/17/2016 01:11:00 AM
Rating:
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments: