Dalam tulisan ini yang dimaksudkan dengan informasi politik adalah intensitas warga dalam mengikuti berita sosial – politik termasuk kampanya menjelang pemilihan lewat berbagai media massa (Mujani, Liddle & Ambardi, 2012). Ini penting dijelaskan dikarenakan informasi politik memiliki pengaruh terhadap sikap pemilih. Jika kita mencermati tulisan dari Scott L. Althaus (dalam Richard G. Niemi & Herbert F. Weisberg, 2001, h.114-129) tentang efek informasi politik, ditegaskan bahwa informasi politik sangat mempengaruhi preferensi politik seseorang. Argumen ini dimulai dengan mencatat bahwa ada hubungan antara informasi atau pengetahuan politik dengan kemampuan untuk bertindak sesuai dengan apa yang diharapkan dari pilihannya. Karena ditemukan bahwa orang yang kekurangan informasi politik cenderung tidak tahu kepentingan terbaik mereka sendiri.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgtEVAczejq51ns6HMJVNdLBoVOxdCwjYEYdQ1Rr1pIj-8XjIyphNe1nrxd5JCHTh3yeNS5wX6hb33fjR4s5g_krOosi3xX83teOxixC2G1jN0iZY2FLJ64oNwWL9MbajBW_33_5EgtwwwL/s320/mass_media.jpg) |
Foto : anticlbk.blogspot.co.id |
Ini menunjukkan bahwa ketimpangan atas informasi politik menyebabkan preferensi pemilih akan beragam. Beberapa penelitian menunjukkan hal tersebut (dikutip Althaus dalam Niemi dan Weisberg,2001); Pertama, Delli Carpini dan Keeter (1996) dimana menggunakan model regresi yang melibatkan tingkat pengetahuan responden dan 22 karakteristik lain (seperti ras, jenis kelamin, usia, pendapatan, dll) untuk memprediksi sikap atau pilihan mereka pada berbagai masalah. Pertanyaan yang diajukan adalah apakah individu yang memiliki informasi yang kurang dan mendapatkan informasi yang cukup memiliki pendapat yang berbeda. Kesimpulan yang diperoleh adalah bahwa setiap kenaikan atau tambahan pengetahuan mengencangkan hubungan antara sikap dan suara atau pilihan, sementara yang kurang memiliki pengetahuan atau informasi memiliki preferensi yang berbeda atau dengan kata lain, kekurangan informasi akan berpengaruh pada kulaitas putusan voter.
Kedua, Bartels (1996) dengan pendekatan yang mirip dengan Delli Carpini dan Keeter, menemukan hasil bahwa seseorang yang memiliki pengetahuan politik membuat pilihan terhadap calon "signifikan lebih baik daripada mereka yang memilih secara kebetulan, tetapi secara signifikan kurang baik dari mereka yang memperoleh informasi lengkap".
Ketiga, temuan Althaus sendiri. Menggunakan pendekatan yang sama (selain pengetahuan politik), ia menemukan bahwa distribusi pengetahuan yang tidak merata menyebabkan bias dalam hasil survei. Distribusi pengetahuan yang tidak merata dalam satu
Dari analisis Delli Carpini dan Keeter, Bartels, dan Althaus menunjukkan bahwa pengetahuan politik sangat berpengaruh secara signifikan bagi preferensi pemilih. Namun perlu diketahui bahwa tidak semua yang memiliki informasi yang sama atau paling tidak identik akan memiliki penilaian yang sama terhadap kandidat atau partai tertentu. Hal ini dikarenaka adanya kepentingan yang berbeda dan sikap yang berbeda pula terhadap partai politik. Orang-orang yang memiliki tingkat panatik yang kuat (ideologis) terhadap partai tertentu, maka lebih cenderung untuk memilih partai tersebut.
Sumber informasi politik juga dapat mempengaruhi tingkat kepercayaan pemilih terhadap partai atau kandidat tertentu. Antara pemberitaan dengan iklan politik (kampanye) juga memiliki derajat kepercayaan pemilih yang berbeda. Sebagimana temuan Aron O’Cass (dalam Haryati, 2007) ketika melakukan penelitian saat pemilu di Australia, bahwa pemberitaan lewat media televisi dan surat kabar memiliki derajat kepercayaan yang lebih daripada iklan politik yang dilakukan oleh partai atau kandidat. Pemberitaan yang dimaksudkan adalah pemberitaan mengenai kandidat atau partai yang yang bertarung, itu lebih dipercaya ketimbang isi iklan politik atau kampanye.
Temuan Lembaga Survei Indonesia (LSI) juga memberikan penjelasan yang sama sekalipun tidak signifikan, ketika melakukan survei mengenai media massa dan sentimen terhadap partai politik menjelang pemilu 2014. Dimana ketika melakukan analisis multivariat dengan mempertimbangkan faktor jender, umur, pedesaan‐perkotaan, dan pendidikan, efek dari berita dan talk show ternyata lemah, dan secara umum tidak signifikan. Dengan kata lain, berita politik dan talk show di TV secara umum tidak menggerus Demokrat dan menaikan partai lain. Tapi ada indikasi bahwa talk show politik berpengaruh positif terhadap Golkar, dan negatif terhadap Demokrat meskipun signifikansinya ini tidak terlalu kuat.
Sekalipun informasi politik berpengaruh terhadap pilihan politik, akan tetapi ini juga dikontrol oleh faktor lain dalam memahami perilaku pemilih. Diantaranya mengenai situasi sosial politik dimana aktor itu berada. Menurut Sastroatmodjo (dalam Setiajid, 2011, h. 22) faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut adalah;
- Faktor lingkungan sosial politik tak langsung seperti sistem politik, sistem ekonomi, sistem budaya dan sistem media masa.
- Faktor lingkungan sosial politik langsung yang mempengaruhi dan membentuk kepribadian aktor politik seperti keluarga, agama, sekolah dan kelompok pergailan. Dimana factor ini memberikan bentuk-bentuk sosialisasi dan internalisasi nilai dan norma masyarakat pada aktor politik serta memberikan pengalaman - pengalaman hidup.
- Faktor struktur kepribadian yang tercermin dalam sikap individu. Pada faktor ini ada tiga basis fungsional sikap untum memahamninya. Basis pertama adalah yang didasarkan pada kepentingan yaitu penilaian seseorang terhadapsuatu objek didasarkan pada minat dan kebutuhan seseorang terhadap objek tersebut. Basis yang kedua atas dasar penyesuaian diri yaitu penilaian yang dipengaruhi oleh keinginan untuk menjaga keharmonisan dengan subyek itu. Basis yang ketiga adalah sikap didasarkan pada fungsi ekternalisasi diri dan pertahanan.
- Faktor sosial politik langsung yang berupa situasi yaitu, keadaan yang mempengaruhi aktor secara langsung ketika akan melakukan sesuatu kegiatan.
Faktor lain yang bersifat non politis juga ikut mempengaruhi, menurut Alfian (Ibid) faktor-faktor tersebut adalah; latar belakang historis, kondisi geografis (geopolitik), budaya politik, agama dan keyakinan, dan sistim kultural yang melekat dan berlaku dalam masyarakat.
Dari rangkaian penjelasan diatas disimpulkan bahwa sekalipun individu – individu memiliki informasi yang sama mengenai kondisi politik tertentu, tetap akan memiliki preferensi yang berbeda. Ini dikarenakan adanya faktor lingkungan sosial politik dan faktor non politis lainnya yang dapat mempengaruhi sikap dan perilaku pemilih.
***
Referensi
Althaus, Scott L. (2001). "Information Effects in Collective Preferences". Dalam Richard G. Niemi & Herbert F. Weisberg. (Ed). Controversies in Voting Behavior. Fourth Edition. Wasington DC: CQ Press.
Haryati. 2007. "Ketika Parpol Mengiklankan Kandidatnya di Televisi". Dalam jurnal Mediator Volume 8 Nomor 2 Tahun 2007.
Setiajid. (2011). "Orientasi Politik yang Mempengaruhi Pemilih Pemula dalam Menggunakan Hak Pilihnya pada Pemilihan Walikota Semarang Tahun 2010: Studi Kasus Pemilih Pemula di Kota Semarang". Dalam jurnal Integralistik No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011.
No comments: