Tulisan Radhar Panca Dahana di harian Kompas (15/11/2013) dengan judul
Jebakan Demokrasi mengingatkan perdebatan antara I. Wibowo dan sejumlah intelektual di Indonesia yang membincangkan perihal demokrasi di tahun – tahun awal reformasi, yang terpublikasi dalam kolom opini Kompas.
 |
Radhar Panca Dahana
|
Jika membaca tulisan Dahana, jelas dan terang pemberontakan alam fikirnya atas praktik demokrasi di Indonesia dan bahkan menyasar lebih jauh mempertanyakan keabsahan sebagai sebuah konsep. Dengan menggunakan logika matematis, Dahana mengungkapkan bahwa ada persoalan dengan simtem demokrasi yang kebanyakan orang agungkan. Bagaimana bisa kandidat yang memenangkan pemilihan 50+1 dengan tingkat golput 30-40 persen mengurusi dan menggunakan pajak dari orang-orang yang tidak memilihnya?. Inilah logika yang dibangun oleh Dahana. Namun sayangnya, Dahana belum memberikan tawaran apapun sistem politik apa yang mesti dijalankan di Indonesia.
Sementara itu, Ignas Kleden dalam tulisannya di kolom opini Kompas (18/11/2013) dengan judul Demokrasi, Korupsi dan HAM, juga menyorot demokrasi sebagai sebuah konsep yang perlu dipertanyakan. Kleden mempertanyakan harapan-harapan yang pernah dijanjikan demokrasi, dengan mengajukan pertanyaan “apakah masih ada alasan membela dan memajukan demokrasi yang gagal mencegah pemerintahan dari tindakan korupsi dan gagal menghentikan pelanggaran HAM?”.
Disisi lain, pembelaan terhadap demokrasi mengemukakan alasan yang menganjurkan rasa sabar dan optimisme terhadap masa depan demokrasi itu sendiri. Mengacu pada pengalaman Amerika yang membangun demokrasinya sejak ratusan tahun silam, menemukan bentuknya hari ini. Indonesia yang baru memasuki tahapan satu dasawarsa dalam mengkonsolidasikan demokrasi dianggap belum bisa menjawab gugatan dari siapapun terhadap demokrasi sebagai sistem terbaik. Olehnya itu, tidak henti-hentinya para pembela demokrasi menyerukan agar kita bersabar dan terus bersabar. Lalu sampai kapan?. Kira-kira pertanyaan ini yang sering dilontarkan bagi orang-orang yang sudah muak dengan keadaan kita (Indonesia) hari ini.
 |
Ignas Kleden
|
Jika titik tekannya adalah demokrasi tidak memberikan apa-apa dan perubahan yang signifikan terhadap penegakan hukum dan kesejahteraan rakyat, maka sistem apapun yang kita anut, juga tidak memberikan harapan yang memadai atas penyelesaian dua masalah diatas apabila manusia-manusianya tidak berbudi luhur. Maka persoalannya adalah moral kita. Demokrasi dan sistem apapun kita daur ulang untuk diterapkan di Indonesia tidak akan ada kemajuan sedikitpun jika moral pejabat kita masih seperti sekarang ini.
Sekalipun ada orang yang tidak sepakat, dengan alasan moral tidak memiliki tolak ukur. Namun, saya kira cukup apa yang boleh dan tidak boleh dalam peraturan perundang-undangan itu ditegakkan tanpa pandang bulu. Itu saja menjadi tolak ukur sekalipun disisi lain masih mengundang perdebatan apakah subtansi dari moral yang dimaksudkan.
Hadirnya institusi demokrasi, seperti partai politik yang diharapkan mampu mengawas dan memperjuangkan rakyat, juga mengalamai degradasi moral. Tidak jelas lagi siapa yang diawasi dan mengawasi, sama-sama busuk. Berharap pada yudikatif, sama saja tidak ada yang berbeda. Benar kata Kleden, tidak ada sangkut pautnya antara penegakan hukum dengan demokrasi, sekalipun demokrasi menjanjikan penegakan hukum yang lebih baik. Hingga penting kiranya, internalisasi nilai-nilai agama dan nilai-nilai tradisi leluhur perlu dilakukan, terutama kepada para pemimpin di negeri ini. Bukan pencitraan dan kemasan politik yang diinternalisasi agar menghadirkan topeng-topeng kepalsuan.
Pada akhirnya, jika demokrasi tidak kunjung menjawab persoalan negeri ini. Lalu kita mau apa lagi?.
***
No comments: