Karir dan Aksi Politik Kahar Muzakkar (1)

1. Perjuangan Awal Kemerdekaan Indonesia

Kahar Muzakkar telah terlibat dalam usaha-usaha memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah Belanda sejak ia masih muda. Keberaniannya sejak kecil memberi pengaruh tersendiri dalam perjalanan hidup dan perjuangannnya. 

Foto :  news.okezone.com
Angkatan Perang Timur Jepang pertama kali mendarat di Makassar pada tanggal 9 Februari 1942 dan menjadikan Makassar sebagai markas besar dan pusat pemerintahan sipil Angkatan Barat Daya Laut Jepang untuk wilayah Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara. Hanya berselang beberapa hari, Jepang melancarkan serangan habis-habisan terhadap sisa kekuatan Belanda dan memenjarakan orang-orang yang dianggap pendukung Belanda walau pada akhirnya direhabilitasikan ketika pemerintahan sipil Jepang dilantik pada bulan Maret 1942.

Sementara itu, kaum nasionalis di Sulawesi Selatan membentuk panitia untuk menyambut kedatangan pasukan Jepang yang kemudian diangkat oleh pemerintahan sipil Jepang kedalam Chian Iji Kai atau Panitia Keamanan Umum untuk menjaga ketertiban dan menggantikan para pejabat Belanda yang ditawan. Ketua panitia ini adalah Nadjamoeddin Daeng Malewa dan sekretarisnya Iwa Kusumasumantri yang merupakan pemimpin nasionalis yang dibuang dari tanah Jawa. Panitia ini dibubarkan setelah sempat berjalan selama sebulan (Harvey, 1989, h. 92-93).

Kahar Muzakkar yang telah menuntut ilmu di tanah Jawa kembali kekampung halamanya, sekembalinya ia dari tanah Jawa Kahar Muzakkar semakin agresif dalam kancah perjuangan yang ditambah dengan pemahaman keagamaannya yang diperoleh dari sekolah Muhammadiyah di Solo. Di Sulawesi Selatan Kahar memimpin organisasi kepanduan Hisbulwathan. Ketika Jepang masuk di Sulawesi Selatan, seluruh pemuda dan bahkan kepanduan Hisbulwathan menjadi target dalam mobilisasi untuk memperkuat Dai Nippon dalam kancah perang Asia Raya sekaligus melawan dominasi Barat.

Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Kahar untuk bekerja pada Nippon Dohopo Jepang di Makassar dalam rangka menafkahi istrinya. Kahar tidak menjadikan kekayaan orang tuanya sebagai kebanggaan dan berpoya-poya.

Sikap Kahar yang teguh dalam menegakkan ajaran Islam sempat menghawatirkan Dewan Hadat Kedatuan Luwu maupun Dai Nippon. Kahar dengan sikapnya tersebut menentang adat kebiasaan Luwu yang dianggap bertentangan dengan syariat Islam. Bahkan Kahar mengutuk sistem feodal di Sulawesi Selatan dan menganjurkan dihapuskannya aristokrasi (Hamid, 2009, h. 14-16).

Atas sikapnya tersebut, Kahar dianggap dapat mengganggu harmonisasi kehidupan masyarakat, akhirnya Kahar dijatuhi hukuman adat ripaoppangi tana (Hamid, 2009, h. 16). Saat meninggalkan kampung halamannya atas dasar sanksi ripaoppangi tana tersebut, Kahar terpaksa dibonceng naik sepeda ke Siwa karena tidak boleh menginjak tanah Luwu (Koro, 2009, h. 473). Namun menurut Anhar Gonggong, hukuman adat tersebut disebabkan oleh hasutan/fitnah Jepang yang menuduh Kahar mencuri emas dari perusahaan tempat ia bekerja, dengan kekuatan Jepang memaksa Kedatuan Luwu untuk memberi sanksi ripaoppangi tana (Gonggong, 1992, h. 217).

Pada bulan Maret 1943 Kahar Muzakkar meninggalkan kampung halamannya untuk yang kedua kalinya, sekalipun yang kedua ini menjadi pukulan berat baginya yang telah jauh-jauh menuntut ilmu. Hukuman ini memojokkan Kahar sebagai pelaku kejahatan besar terhadap kerajaan dan raja, tentu ini menyangkut siri’ Kahar Muzakkar. Pada sisi lain, atas fitnah dari Jepang tersebut Kahar Muzakkar telah melakukan perbuatan siri’(Ibid).

Pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945 Sekutu menjatuhkan bom atom di Hirosima dan Nagasaki, dan pada tanggal 16 Jepang menyerah secara resmi kepada Sekutu. 

Berita kemerdekaan yang telah diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta di Jakarta telah tersebar luas di Nusantara bahkan hingga pelosok desa. Kabar ini juga terdengar di Sulawesi Selatan melalui radio dan surat kabar Pewarta Selebes yang saat itu diketuai oleh Andi Burhanuddin (Gonggong, 1992, h. 85).

Berita kemerdekaan juga disampaikan oleh para bangsawan Sulawesi Selatan, yakni Andi Pangerang Petta Rani dan Andi Sultan Daeng Raja. Kedua tokoh ini cukup memberikan andil dalam penyebaran berita kemerdekaan kepada raja-raja di Sulawesi Selatan.

Rakyat Sulawesi Selatan telah memberikan kontribusi dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia sekalipun sebagian rakyat Sulawesi Selatan ada juga yang tidak mendukung kemerdekaan Indonesia, namun lebih banyak yang mendukung. Perlawanan rakyat Sulawesi Selatan terlihat ketika Belanda kembali berusaha menduduki nusantara sebagai koloninya. Usaha Belanda dalam memenuhi hasrat tersebut dilakukan dengan jalan kekerasan. Ini disebabkan oleh kuatnya persatuan antara bangsawan, ulama dan rakyat dalam mempertahankan kemerdekaan hingga menyulitkan pasukan sekutu untuk menduduki dengan cara diplomasi. Inipun dihadapai oleh rakyat Sulawesi Selatan yang ditandai dengan berdirinya berbagai laskar-laskar perlawanan rakyat yang didukung oleh raja-raja Sulawesi Selatan . Di daerah Palopo terjadi insiden antara sekutu dengan rakyat akibat dari tindakan pasukan NICA yang memasuki sebuah mesjid di Kampung Bua dan mengobrak-abrik isi mesjid serta menginjak-injak Alquran. 

Pada tanggal 21 Januari 1946, Andi Djemma yang merupakan Raja Luwu mengeluarkan ultimatum agar pasukan NICA meninggalkan Palopo dalam tempo 2 kali 24 jam. Ini dilakukan setelah berunding dengan tokoh-tokoh agama dan rakyat. Sekalipun Sekutu/NICA telah diberi ultimatum akan tetapi NICA tidak menghiraukan ultimatum tersebut yang pada akhirnya terjadi pertempuran pada tanggal 23 Januari (Gonggong, 1992, h. 86 – 88).

Pertempuran tanggal 23 Januari tersebut mengakibatkan kekalahan dipihak Andi Djemma dan kelaskaran yang secara terpaksa Andi Djemma mengungsi namun tertangkap juga pada tanggal 2 Juni 1946 di Desa Batu Pute.

Setelah peristiwa tersebut, Belanda semakin agresif melakukan penangkapan-penangkapa terhadap para pemimpin yang mendukung kemerdekaan Indonesia yang dengan sendirinya membuat para para pemimpin kelaskaran mencarai alternatif dan bantuan dari Jawa. Para pemimpin kelaskaran secara berdelombang berangkat ke Jawa yang dimulai oleh Manai Sophian bersama 40 pemuda pejuang, menyusul rombongan kedua yang terdiri dari Andi Mattalatta, Saleh Lahade, La Nakka dan Mohammad Amin Lanca. Rombongan selanjutnya ialah Andi Yusuf Amir dari Bone disusul rombongan Andi Sapada, setelah itu berturut-turut Bachtiar dan Mahmud Sewang dari Makassar, A. Malik dan A. Gati dari Mandar, Abubakar dari Bulukumba dan Andi Putra dari Kolaka (Gonggong, 1992, h. 89; Harvey, 1989, h. 138). 

Kahar Muzakkar yang diusir dari kampung halamannya dengan keadaan ri pakasiri’, di Jawa Kahar lebih memantapkan semangat juangnya untuk bangsa yang telah tumbuh didalam dirinya. Lalu Kahar mendirikan Usaha Semangat Muda dan mendirikan Toko Luwu sebagai hasil kerja sama dengan rekan bisnisnya yakni Muhammad Idrus GP, Abdul Mannan dan Saleh Sjahban. Toko ini menjadi tempat perjuangan dan mengorganisir perlawanan melawan Belanda pada awal kemerdekaan Indonesia.

Pada tanggal 19 September 1945, ketika Soekarno akan menyampaikan pidato di lapangan Ikada Jakarta. Pada saat itu keadaan mencekam karena Soekarno tak diizinkan berpidato dan dikepung oleh pasukan Jepang. Kahar dengan sebilah golok ditangannya, membukakan jalan bagi Soekarno dari kepungan tentara Jepang.


Entah Sukarno masih ingat atau sudah lupa bahwa di Lapangan Ikada Djakarta, pada tgl. 19 September 1945 pada waktu Bung Karno dan Bung Hatta didesak oleh rakjat untuk berpidato, sekian puluh ribu rakjat penduduk Djakarta dan Barisan Pemuda jang ada di Lapangan Ikada pada waktu itu, tidak ada seorang pun jang sanggup berdiri dimuka auto Bung Karno untuk melepaskan Bung Karno dan Bung Hatta dari kepungan bajonet tentara Djepang, ketjuali saja seorang diri dengan sebilah golok ditangan dengan nekad dan nekad mengundurkan tentara Djepang jang sudah penuh membandjir mengelilingi auto Bung Karno dan Bung Hatta dengan bajonet terhunus.

Saja kenangkan ulang kedjadian itu, bukan untuk meminta balasan djasa dari Suakrno, dan bukan meminta pudjian Sukarno (Mudzakkar, 1999, h. 11). 

Revolusi yang terjadi di Indonesia, telah membuka kesempatan kepada pemuda Indonesia untuk terlibat secara langsung dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang di proklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Kahar Muzakkar sebagai Manusia Bugis juga tampil dalam usaha-usaha tersebut, yang ditandai dengan didirikannya Gerakan Pemuda Indonesia Sulawesi (GEPIS) yang pada tanggal 21 Oktober 1945 dilebur kedalam organisasi gerilya para pemuda Sulawesi yakni Angkatan Pemuda Indonesia Sulawesi (APIS) di organisasi ini Kahar Muzakkar bertindak sebagai ketua. Dalam perjalanannya kelaskaran ini berubah menjadi Kebaktian Rakjat Indonesia Sulawesi (KRIS) dan Kahar Muzakkarlah yang memberi nama kelaskaran tersebut. Adapun susunan kepengurusan KRIS ini adalah (Dijk, 1983, h. 145) :

Ketua : A. Ratulangi
Wakil Ketua : Baharudin Rahman
Sekretaris I : Kahar Muzakkar
Sekretaris II : J.M. Waworuntu
Bendahara I : G. Pakasi
Bendahara II : H.M. Idrus
Pembantu : 
1. F. Palemewen
2. A.Abd. Rachman
3. J. Rappart

Perjalanan kepengurusan KRIS dikemudian hari mengalami keretakan yang diakibatkan oleh pertentangan-pertentangan antara ketua dan anggota-anggotanya (Gonggong, 1992, h. 99). Dalam organisasi KRIS, Kahar Muzakkar memiliki kesempatan yang luas untuk terjun ke berbagai daerah dalam rangka membentuk kelaskaran.

Di organisasi inilah Kahar Muzakkar berkesempatan untuk melakukan pembebasan 800 tahanan di Nusakambangan pada bulan Desember 1945, yang dikemudian hari menjadi pasukan yang paling setia pada Kahar Muzakkar.

Karir dan Aksi Politik Kahar Muzakkar (1) Karir dan Aksi Politik Kahar Muzakkar (1) Reviewed by Pondok Kanal on 1/18/2016 06:43:00 PM Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.