Oleh
Abstrak
Tulisan ini hendak menelisik lebih jauh partisipasi dan representasi politik perempuan pada pelaksanaan pemilu legislatif 2014 di Kabupaten Jayapura. Tujuannya penelitian ini adalah menjawab beberapa pertanyaan, antara lain; pertama, bagaimana partisipasi politik perempuan di Kabupaten Jayapura pada pemilu legislatif 2014? Kedua, mengapa representasi perempuan di DPRD Kabupaten Jayapura sangat minim? Ketiga, apa dampak atau implikasi yang terjadi atas minimnya perwakilan perempuan di DPRD Kabupaten Jayapura? Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekalipun partisipasi perempuan yang ikut dalam pencalonan anggota legislatif cukup tinggi (memenuhi kuota minimal 30%), namun pada kenyataannya hanya satu calon legislatif perempuan yang mampu mencuri kursi di DPRD Kabupaten Jayapura. Minimnya keterwakilan perempuan di DPRD Kabupaten Jayapura disebabkan oleh orientasi masyarakat, khususnya kaum perempuan yang masih terbelenggu budaya patriarki. Hal ini berimplikasi terhadap proses pembuatan kebijakan di parlemen yang kurang mendukung penyelesaian masalah-masalah klasik yang dihadapi oleh kaum perempuan di Kabupaten Jayapura.
Kata Kunci: Partisipasi Politik, Representasi Politik, Pemilu Legislatif, Budaya Patriarki.
Pengantar
Munculnya gelombang pertama feminisme yang mulai berkembang antara abad 19 sampai awal abad ke-20 menguatkan kesadaran perempuan terhadap kesetaraan hak yang harus diperjuangkan. Tuntutan kesetaraan hak bagi kaum perempuan tidak hanya berkutat pada ranah sosial. Saat ini, tuntutan tersebut telah sampai pada ranah politik untuk memperjuangkan hak politik yang sama dengan laki-laki. Kaum perempuan menyadari bahwa legitimasi atas hak politik dapat digunakan sebagai instrumen untuk menyisipkan keberpihakan terhadap kepentingan perempuan dalam setiap kebijakan yang dikerluarkan. Dalam perkembangannya, konsep demokrasi menjadikan parlemen sebagai arena yang menggiurkan bagi “kaum hawa” untuk merepresentasikan diri.
Saat ini studi mengenai representasi perempuan di parlemen bukan menjadi barang baru dalam perkembangan ilmu politik. Meskipun demikian, studi representasi politik bagi perempuan di Indonesia masih sangat langka. Tulisan ini bisa jadi merupakan respon terhadap “kelangkaan” tersebut, namun misi utama tulisan ini adalah melacak keterwakilan perempuan di Indonesia, khususnya representasi perempuan di parlemen lokal. Kenyataan bahwa kurangnya representasi perempuan di parlemen lokal menjadikan studi ini sangat “urgent” untuk dilakukan.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhaXPGJj2oenUPilDtMEduPg4uHujl_CFNa07OmeFiDNrlmtMXeKf1ehcC4MlPagvYKS06mYkvZjeXQsQjNgUOqMkNVOTU0h9tW7VzrYGakyDutbXWW_6KWaOJKgSlw7ZU5gNMrRoJGjHQk/s320/perempuan.jpg) |
Foto : rumahpemilu.org |
Keterwakilan perempuan di parlemen lokal memang menjadi sesuatu yang sangat ironis. Di Kabupaten Jayapura
[1] misalnya, dari hasil pemilu legislatif 2014, perempuan hanya mendapatkan satu kursi di parlemen, sisanya sebanyak 24 kursi diduduki oleh laki-laki. Hal ini kembali menegaskan bahwa legitimasi politik perempuan di tingkat lokal masih belum mampu meruntuhkan dominasi kaum maskulin. Memang menjadi sangat ironis, pasalnya masalah yang dihadapi kaum perempuaan saat ini semakin kompleks, namun kompleksitas masalah tersebut tidak diiringi dengan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada kepentingan perempuan. Lemahnya keberpihakan untuk melindungi hak perempuan adalah implikasi dari kurangnya representasi perempuan di parlemen. Padahal, pemerintah telah memberikan “kemudahan” lewat konsep affirmative action agar jumlah representasi perempuan di parlemen lokal bisa terus meningkat. Pada kenyataannya, konsep affirmative action bagi perempuan yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 dan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2011 belum mampu mendongkrak jumlah representasi perempuan di parlemen lokal.
Mengacu pada realitas di atas, muncul tiga pertanyaan penting yang perlu dijawab. Pertama, bagaimana partisipasi politik perempuan di Kabupaten Jayapura pada pemilu legislatif tahun 2014? Kedua, mengapa representasi perempuan di DPRD Kabupaten Jayapura sangat minim? Ketiga, apa dampak dan implikasi kurangnya representasi perempuan di DPRD Kabupaten Jayapura?
Kajian Teoritik : Representasi Politik
Studi keterwakilan gender dalam politik, akan menghadirkan ulasan teoritik dari Hanna Pitkin. Secara mendasar Hanna Pitkin memberikan kategorisasi yang ideal bagi representasi politik ke dalam empat bentuk yang berbeda. Pertama, representasi otoritas, yaitu ketika representator secara legal diberikan hak untuk bertindak. Kedua, representasi deskriptif, yaitu ketika representator membela kelompok yang memiliki watak politik sama. Ketiga, representasi simbolis, ketika representator menghasilkan sebuah ide bersama. Keempat, representasi substantif, ketika representator membawa kepentingan ide represented ke dalam area kebijakan publik (Pitkin, 1967).
Hanna Pitkin (1967) mengemukakan bahwa representasi merupakan bentuk modern dalam demokrasi. Pitkin kemudian menjabarkan keempat konsep repreentasi politik yang telah dibahas sebelumnya. Pertama, perspektif otorisasi melihat bahwa representasi merupakan pemberian dan pemilikan kewenangan oleh wakil sebagai orang yang diberi kewenangan untuk bertindak. Wakil memiliki hak untuk bertindak, sesuatu yang tidak dimiliki sebelumnya. Sebaliknya, wakil yang memberikan beberapa haknya, harus ikut bertanggungjawab atas konsekuensi tindakan yang dilakukan oleh wakil. Pandangan otoritas ini memusatkan pada formalitas hubungan keduanya atau sering disebut sebagai pandangan “formalistik”.
Kedua, representasi deskriptif, yaitu seseorang dapat berpikir dalam kerangka sebagai “standing for” segala sesuatu yang tidak ada. Wakil bisa berdiri demi orang lain yang diwakili, menjadi substitusi untuk orang lain, atau mereka cukup menyerupai orang lain. Representasi deskriptif menggambarkan bahwa wakil mendeskripsikan konstituen, biasanya ditandai dengan karakteristik yang nampak seperti warna kulit, gender, atau kelas sosial. Model ini dipahami sebagai kesamaan deskriptif antara wakil dengan yang diwakili. Ciri pandangan ini kebanyakan dikembangkan di antara yang membela representasi proporsional, bahkan pandangan ini dianggap sebagai prinsip fundamental representasi proporsional yang berupaya menjamin bahwa badan perwakilan mencerminkan hitungan matematis “more or less” atas konstituennya, sebagai kondensasi dari keseluruhan.
Ketiga, representasi simbolik, berarti merepresentasikan sesuatu yang bukan merepresentasikan fakta. Ide person dapat direpresentasikan tidak dengan peta atau potret, tetapi dengan simbol, dengan cara disimbolkan atau diwakili secara simbolik. Meskipun sebuah simbol merepresentasikan “standing for” segala sesuatu, tetapi tidak menyerupai apa yang diwakili. Simbol memiliki cirri yang membantu merasionalisasikan signifikansi simboliknya, sehingga simbol mensubstitusi yang diwakili dan simbol mensubstitusi apa yang disimbolkan.
Baik pandangan formalistik maupun deskriptif tidak relevan dikaitkan dengan representasi karakteristik. Di samping itu, representasi deskriptif maupun simbolik menjadi suplemen bagi pandangan yang formalistik. Representasi deskriptif memperkenalkan ide pentingnya wakil menyerupai konstituen. Sedangkan representasi simbolik masyarakat memiliki keyakinan irasional, yang diabaikan oleh pendangan formalistik dan pentingnya penerimaan konstituen. Representasi deskriptif atau simbolik biasanya dekat dengan obyek bukan dekat dengan aktivitas maka wakil kerap kali tidak merepresentasikan dengan melakukan sesuatu sama sekali. Artinya, representasi tidak dalam makna berbicara tentang peran, kewajibannya dan apa yang ditampilkan oleh wakil. Realisme tindakan representasi deskriptif dan simbolik ekuivalen dengan pandangan “standing for” bukan pada aktivitas representasi yang “acting for”. Bahkan pandangan representasi formalistik dan deskriptif tidak memungkinkan untuk aktivitas merepresentasi sebagai “acting for” bagi orang lain. Dengan kata lain dalam realisme politik tidak ada ruang untuk aktivitas kreatif perwakilan legislatif (Pitkin, 1967).
Pada sisi lain konsepsi merepresentasi sebagai “standing for” membawa pada pengertian lain representasi, yaitu representasi sebagai pembuatan atau penciptaan jenis aktivitas. Kalau representasi sebagai aktivitas maka representasi dimaknai sebagai “acting for” orang lain. Representasi “acting for” berbeda dengan pandangan yang formalistik, sebab representasi ini lebih memusatkan pada hakekat aktivitas itu sendiri menjangkau representasi subtantif. Dalam konteks ini wakil berbicara, bertindak demi opini, keinginan, kebutuhan atau kepentingan substantive terwakil atau sering disebut dengan representasi “substantive acting for” orang lain. Konsep substantif (keempat) memandang representasi bukan sekedar sebagai cara berdiri seseornag demi orang lain (a way of standing for someone) tetapi representasi sebagai cara bertindak demi orang lain (a way of acting for someone) (Pitkin, 1967).
[1] Dalam studi ini Kabupaten Jayapura dijadikan sebagai lokasi penelitian.
No comments: