Partisipasi Politik Perempuan di Kabupaten Jayapura
Di era modern, perlahan tapi pasti perempuan mulai berani untuk keluar dan melawan setiap stigma negatif yang menggiring mereka pada pelabelan “manusia nomor dua”. Perlawanan perempuan terhadap kultur yang coba meminggirkan mereka dilakukan bukan karena perempuan sedang melawan kodrat hidupnya. Jauh dari pada itu sebenarnya perempuan sedang memperjuangkan dua hal. Pertama, haknya sebagai manusia yang bebas. Hak untuk memperoleh pendidikan, pekerjaan, hak untuk mengembangkan diri, dan tentunya hak politik yang sama sebagai warga negara. Kedua, mengkukuhkan eksistensinya sebagai upaya menghapus dominasi maskulinitas.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjwj1qcqoQ8uZjVN5qRUJAS90u8kWEixVOIY2zdgjakTr97ZH6AKj5F3Bhut8kYWNMVLxXRlwPyz7HpoN6bvahwHr8_gYfODTTYQojQHWoQQQ9goUaBfc15Pj14IhPG6oJ_E24kPbSQOV66/s320/perempuan.jpg) |
Foto : rumahpemilu.org |
Meledaknya gelombang reformasi setidaknya membuka harapan bagi perempuan untuk mewujudkan cita-cita kesetaraan dengan “mencuri” kursi di parlemen lewat pemilu legislatif. Prinsip demokrasi berkehendak bahwa perempuan, seperti juga laki-laki, adalah warga negara, dengan hak-hak kewarganegaraan yang sama. Tidak boleh ada diskriminasi oleh pihak manapun karena perbedaan jenis kelamin, seperti juga tidak dibenarkan adanya diskriminasi karena perbedaan agama, suku, bahasa, kelas ekonomi, dan sebagainya, karena hal tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar demokrasi dan hak asasi manusia yang bersifat universal (Darwin, 2004).
Untuk membuka peluang keikutsertaan perempuan dalam pertarungan politik nasional, pemerintah menyiasatinya dengan menetapkan regulasi
[1] yang mengharuskan setiap partai politik untuk menyediakan quota minimal 30% bagi kandidat perempuan dari jumlah keseluruhan kandidat. Bagi kaum perempuan, hal tersebut sangat penting. Pertama, regulasi dalam penyelenggaraan pemilu legislatif telah memberikan kesempatan kepada perempuan untuk terlibat menjadi anggota legislatif. Kedua, peran tersebut telah dijamin oleh undang-undang, artinya perempuan tidak dalam posisi diabaikan untuk ikut dalam penentuan nasib bangsa (Djoharwinarlien, 2012: 47).
Semenjak adanya regulasi yang menjamin keikutsertaan perempuan di pemilu legislatif, jumlah keterwakilan perempuan terus meningkat. Baik pada skala nasional maupun lokal, kuota perempuan minimal 30% selalu terpenuhi. Hal tersebut juga berdampak positif terhadap partisipasi perempuan pada pemilu legislatif 2014 di Kabupaten Jayapura. Seluruh partai politik yang ikut dalam pemilu legislatif 2014 di Kabupaten Jayapura memenuhi persyaratan keterwakilan perempuan minimal 30%. Melalui Tabel 1, dapat dilihat komposisi keterwakilan perempuan minimal 30% yang dipenuhi setiap partai politik pada pemilu legislatif 2014 di Kabupaten Jayapura.
Tabel 1.
Daftar Keterwakilan Perempuan Pada Pemilu Legislatif 2014 di Kabupaten Jayapura
Partai Politik
|
Daerah Pemilihan
|
Calon Laki-Laki
|
Calon Perempuan
|
Jumlah Calon
|
Keterwakilan Perempuan 30%
|
Nasdem
|
1 s/d 4
|
15
|
10
|
25
|
Terpenuhi
|
PKB
|
1 s/d 4
|
15
|
10
|
25
|
Terpenuhi
|
PKS
|
1 s/d 4
|
14
|
11
|
25
|
Terpenuhi
|
PDIP
|
1 s/d 4
|
15
|
9
|
24
|
Terpenuhi
|
Golkar
|
1 s/d 4
|
15
|
10
|
25
|
Terpenuhi
|
Gerindra
|
1 s/d 4
|
14
|
10
|
24
|
Terpenuhi
|
Demokrat
|
1 s/d 4
|
15
|
10
|
25
|
Terpenuhi
|
PAN
|
1 s/d 4
|
15
|
10
|
25
|
Terpenuhi
|
PPP
|
1 s/d 4
|
15
|
10
|
25
|
Terpenuhi
|
Hanura
|
1 s/d 4
|
15
|
10
|
25
|
Terpenuhi
|
PBB
|
1 s/d 4
|
15
|
10
|
25
|
Terpenuhi
|
PKPI
|
1 s/d 4
|
15
|
9
|
24
|
Terpenuhi
|
Sumber: Laporan Penyelenggaraan Pemilu Legislatif 2014, KPU Kabupaten Jayapura.
Jika merujuk pada data yang ditunjukkan Tabel 1, seluruh partai politik yang ikut ambil bagian dalam pemilu legislatif di Kabupaten Jayapura telah memenuhi persyaratan keterwakilan perempuan minimal 30%. Namun, terlepas dari rekognisi formal terhadap hak politik perempuan beserta dengan upaya afirmasi yang dicanangkan, bagi sebagian atau bahkan seluruh partai politik saat ini, terpenuhinya kuota keterwakilan perempuan minimal 30% hanya sebatas syarat yang harus dipenuhi untuk dapat meneruskan langkah politik selanjutnya pada pemilu legislatif. Hal tersebut kemudian memunculkan kesan bahwa keikutsertaan perempuan dalam pemilu legislatif hanyalah sebagai “syarat yang harus dipenuhi” bukan “syarat yang harus dipenuhi dan diperjuangkan”.
Muncul pertanyaan penting apakah keikutsertaan perempuan dalam pemilu legislatif adalah bagian dari partisipasi politik? Atau jangan-jangan perempuan cuma diposisikan sebagai bagian yang hanya “ikut berpartisipasi”. Perlu dicatat bahwa kebijakan yang berwatak afirmatif terhadap perempuan ini hendaknya tidak menjebak kita dalam pemahaman kuantifikasi peran perempuan di ranah publik yang sekedar sebagai angka statistik. Ada banyak persoalan yang lebih dari sekedar permasalahan kuantitas perempuan di ranah politik yang menyebabkan partisipasi politik kaum hawa diletakkan secara tidak tepat. Kita akan segera mengetahui pada bagian selanjutnya dari, apakah dalam pemilu legislatif tahun 2014 di Kabupaten Jayapura partisipasi perempuan ikut terjebak dalam dinamika politik yang sama.
Ironi Representasi Perempuan di Kabupaten Jayapura: Terseleksi Budaya Patriarki
Kehadiran perempuan dalam ranah politik merupakan aspek penting bagi studi representasi politik. Representasi perempuan merupakan agenda segar bagi sistem politik demokrasi di Indonesia pasca reformasi. Dengan adanya perwakilan perempuan, semangat representasi politik menjadi tinggi. Tatanan reformasi politik ini telah memberikan harapan besar bagi perempuan, terutama di Kabupaten Jayapura dalam menentukan peta politik lokal maupun prototype masa depan Indonesia secara universal.
Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara laki-laki dan perempuan di ranah sosial-politik terjadi melalui proses konstruksi yang sangat panjang. Oleh karena itu terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal. Perbedaan-perbedaan ini muncul secara tidak disengaja ataupun secara sadar, dibentuk, kemudian disosialisasikan, diperkuat, bahkan ekstrimnya dikonstruksi secara sosial kultural melalui budaya atau ajaran agama (Ardi, 2014: pp. 314).
Menurut Pippa Norris (1995), rekutmen bagi calon legislatif perempuan untuk dapat duduk di parlemen bisa melalui berbagai tahapan. Namun yang paling utama adalah mereka harus melalui tiga rintangan krusial, yaitu; pertama, mereka perlu menyeleksi dirinya sendiri untuk pencalonan. Kedua, perempuan harus diseleksi sebagai kandidat oleh partai. Ketiga, kandidat perempuan ditentukan oleh proses seleksi pemilih melalui pemilihan umum legislatif, inilah tahapan yang paling menentukan sekaligus tantangan terbesar untuk dapat meloloskan cita-cita representasi perempuan. Masalahnya, psikologis pemilih tidak selamanya memberi ruang lebih dan kesempatan bagi perempuan dalam menunaikan kewajiban representasinya.
Hasil pemilu legislatif 2014 dan perolehan kursi di DPRD Kabupaten Jayapura sekali lagi membuktikan bahwa fenomena yang dijabarkan Norris memang menjadi momok bagi representasi perempuan di parlemen lokal. Dari 119 calon perempuan yang ikut bertarung dalam pemilu legislatif 2014 di Kabupaten Jayapura, hanya 1 orang yang mampu meraih kursi di DPRD, yaitu Hj. Sumirah dari Partai Nasional Demokrat (Nasdem). Data selengkapnya mengenai perolehan kursi anggota DPRD Kabupaten Jayapura pada pemilu legislatif 2014 dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2.
Perolehan Kursi Anggota DPRD Kabupaten Jayapura Pada Pemilu Legislatif 2014
No
|
Daerah Pemilihan
|
Calon Anggota DPRD Terpilih
|
Partai
|
Jenis Kelamin
|
1
|
Jayapura1 (12 Kursi)
|
1.
Edison Awoitau, ST.
2.
Ismail Mambi, SE.
3.
Hj. Sumirah
4.
Drs H. Muhammad Amin
5.
Ainur Rofiq, S.Pd
6.
Hermes Felle
7.
Stenly Ondikeleuw, ST.
8.
Abdul Rahman Sulaiman
9.
Bilce Birens Mahue
10. Mozez Kallem, SH
11. Eymus Weya, ST.
12. Yohanes A. Hikoyabi
|
Nasdem
Nasdem
Nasdem
PKB
PKS
PDIP
Golkar
Golkar
Gerindra
Demokrat
PAN
Hanura
|
L
L
P
L
L
L
L
L
L
L
L
L
|
2
|
Jayapura 2
(4 Kursi)
|
1.
Yanes Telenggeng
2.
Soleman Manuri
3.
Fredrik Kaway, SH.
4.
Eliab Ongge, S.IP, MM.
|
Nasdem
PDIP
Golkar
Demokrat
|
L
L
L
L
|
3
|
Jayapura 3
(4 Kursi)
|
1.
Klemens Hamo
2.
Patrinus Sorontou
3.
Dariuz Izak Danya
4.
Karel Samonsabra, SH.
|
Nasdem
PDIP
Gerindra
Demokrat
|
L
L
L
L
|
4
|
Jayapura 4
(5 Kursi)
|
1.
Abraham Demonggreng
2.
Apolos Yambeyabdi, SH.
3.
Kornelis Yanuaring
4.
Oktovianus Samon
5.
Matheis Lewerissa
|
Nasdem
PKB
PDIP
Gerindra
Demokrat
|
L
L
L
L
L
|
Sumber: Laporan Penyelenggaraan Pemilu Legislatif 2014, KPU Kabupaten Jayapura.
Sebenarnya, mekanisme pemilu legislatif yang dibalut nuansa afirmasi bisa merubah pandangan sosio-kultural bangsa Indonesia yang selama ini cenderung meminggirkan posisi dan kepentingan kaum hawa. Setidaknya, ketika lebih banyak perempuan duduk di parlemen, maka kebijakan yang dilahirkan akan berbasis gender mainstreaming, yang lebih peduli terhadap nasib dan masa depan perempuan.
Kurangnya perolehan kursi di DPRD Kabupaten Jayapura tentunya menjadi masalah tersendiri bagi kaum perempuan. Jumlah anggota perempuan di parlemen akan mempengaruhi keputusan yang dihasilkan. Seperti diketahui, kebanyakan keputusan di parlemen lebih didasarkan pada jumlah suara yang masuk. Jika banyak representasi perempuan yang memberikan suaranya di parlemen, maka logikanya kepentingan perempuan akan banyak terakomodasi. Hal tersebut akan menempatkan kaum perempuan pada posisi tawar yang cukup kuat (Ratnawati, 2004: pp. 305). Namun sebaliknya jika wakil perempuan di parlemen kurang, maka kemungkinan besar kebijakan-kebijakan yang pro terhadap kepentingan perempuan dinomorduakan.
Mengakarnya budaya patriarki di masyarakat serta konstruksi sosial yang lebih menguntungkan kaum laki-laki menjadi alasan kurangnya representasi perempuan di DPRD Kabupaten Jayapura. Kabupaten Jayapura dan beberapa daerah di Indonesia memang masih menjunjung tinggi budaya patriarki. Filosofi jawa misalnya mengasosiasikan perempuan dengan istilah konco wingking yang hidupnya tidak jauh dari sumur, kasur, dan dapur. Selain itu, ada juga daerah yang masih mempertahankan sistem pemerintahan berbasis kerajaan/kesultanan yang mengharuskan seorang pemimpin berasal dari kaum laki-laki seperti di Yogyakarta.
Di Kabupaten Jayapura, budaya patriarki diorientasikan dalam sistem kepemimpinan ondoafi (pria berwibawa) yang sangat berpengaruh terhadap orientasi politik masyarakatnya. Ondoafi adalah pemegang garis keturunan yang ditarik melalui garis lurus dengan pendiri kampung dan adalah anak laki-laki sulung dari ondoafi sebelumnya. Status ondoafi diperoleh melalui pewarisan yang oleh masyarakat adat dimaknai sebagai bentuk penghormatan, pelaksanaan aturan adat, dan menjadi sebuah kewajaran yang dibenarkan secara moral (Mansoben, 1994).
Budaya patriarki yang terorientasi dalam sistem kepemimpinan ondoafi sedikit banyak telah mengkonstruksi cara pandang masyarakat dalam memilih seorang pemimpin di Kabupaten Jayapura. Bagi masyarakat, pemimpin yang ideal selalu hadir dalam wujud maskulinitas. Dalam konstruksi sosial patriarki, laki-laki memiliki privelese peran di ruang publik, sedangkan perempuan ditempatkan dalam peran di ruang privat. Di ruang publik, dengan peran yang dikuasai oleh kaum laki-laki, maka secara otomatis kebijakan publik akan berorientasi pada kepentingan laki-laki. Hal ini akan berlangsung dalam sektor politik, ekonomi, dan kehidupan kulturan (Siregar, 2004).
Kurangnya keterwakilan mengakibatkan masalah yang dihadapi kaum perempuan di Kabupaten Jayapura tidak menjadi sesuatu yang diprioritaskan. Padahal, masalah demi masalah yang dihadapi kaum perempuan di Kabupaten Jayapura dewasa ini cukup kompleks. Tingginya angka kematian ibu serta kekerasan di dalam rumah tangga merupakan beberapa gambaran permasalahan bagi kaum perempuan di Kabupaten Jayapura yang harus segera diselesaikan. Perempuan di Kabupaten Jayapura belum sepenuhnya mempercayakan kelompok gendernya untuk mengawal aspirasi mereka di parlemen. Padahal, potensi politik perempuan (jumlah pemilih perempuan) di Kabupaten Jayapura tidak kalah dengan kaum laki-laki.
Tercatat bahwa jumlah pemilih tetap dalam pelaksanaan pemilu legislatif tahun 2014 atau pemilu anggota DPRD di Kabupaten Jayapura adalah 114.262 pemilih, terdiri atas laki-laki 61.733 pemilih, dan perempuan 52.529 pemilih. Jumlah pemilih ini merupakan jumlah keseluruhan pemilih dari 19 distrik atau kecamatan yang ada di Kabupaten Jayapura. Hasil pemilu anggota DPRD Kabupaten Jayapura menunjukkan bahwa dari jumlah 114.262 pemilih, ternyata pemilih yang menggunakan hak pilihnya terdiri dari laki-laki 51.847 pemilih dan perempuan 42.937 pemilih. Ini berarti bahwa ada sekitar 9.886 pemilih laki-laki dan 9.592 pemilih perempuan yang tidak menggunakan hak suaranya dalam pemilu legislatif 2014 di Kabupaten Jayapura (KPU Kabupaten Jayapura, 2014). Dengan potensi politik yang dimiliki, perempuan di Kabupaten Jayapura seharusnya bisa menempatkan lebih banyak wakilnya di parlemen. Dengan jumlah wakil perempuan yang setara (equal) dengan jumlah laki-laki di parlemen, peluang pembuatan kebijakan yang pro terhadap gender akan semakin besar.
[1] Regulasi yang dimaksud adalah Undang Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD.
No comments: