Oleh
Journal of Democracy (2015) yang memuat berbagai artikel yang ditulis oleh beberapa pakar demokrasi terkemuka, seperti Francis Fukuyama, Larry Diamond, Thomas Carothers, Steven Levitsky, dan Philippe C. Schmitter yang hampir keseluruhan penulis dalam jurnal tersebut sepakat bahwa dunia kini menghadapi resesi demokrasi – meskipun mereka cukup ragu menyebutnya sebagai gelombang balik demokrasi seperti yang pernah diutarakan Huntington. Edisi Jurnal tersebut mengambil topik “apakah demokrasi mengalami kemunduran?”. Setelah 40 tahun sejak gelombang demokrasi ketiga, tahun 2014 bukanlah era kematangan demokrasi tetapi justru mengecewakan. Faktanya adalah telah terjadi resesi demokrasi sejak tahun 2006, dengan penurunan agregat skor Freedom House setiap tahunnya. Belum lagi masih bertahannya dua kekuatan besar otoritarianisme, Rusia dan Cina. Ditambah dengan Arab Spring seperti lahirnya kediktatoran baru di Mesir, kekerasan politik di Libya, Yaman, dan juga Suriah, serta munculnya gerakan Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS). Di Asia Tenggara, Myanmar dan Thailand (mungkin juga Malaysia) berada didepan dalam kasus ini.
 |
Foto : oketimes.com |
Menurut Fukuyama (2015) faktor penting kemunduran demokrasi ada hubungannya dengan kegagalan pelembagaan demokrasi. Kapasitas negara di banyak negara demokrasi baru belum sejalan dengan tuntutan akuntabilitas demokratis. Sulit bagi negara tersebut untuk bergerak dari patrimonial atau neopatrimonial ke arah impersonal. Berpindah dari rezim otoriter ke pemilihan berkala, bebas, dan adil. Bagaimana dengan Indonesia? Mungkin kita semua sepakat, Indonesia setelah 1998 tidak termasuk didalamnya. Pilkada yang telah (dan akan) reguler dilakukan seperti dipenghujung 2015 adalah “klaim” demokratisasi kita hingga saat ini. Meskipun seperti yang diutarakan oleh Aspinall dan Sukmajati (2015), demokrasi elektoral kita telah disusupi oleh patronase dan varian baru klientelisme politik.
Ujian Demokratisasi
Pilkada serentak di 2015 adalah ujian kesekian kalinya bagi pelembagaan demokrasi Indonesia. 10 tahun yang lalu seleksi elit politik lokal ini dimulai. Buku yang disunting Erb dan Sulistyanto (2009) mengumpulkan cukup banyak optimisme terhadap pendalaman demokrasi Indonesia, tentunya juga dengan sejumlah masalah seperti politik uang, deparpolisasi, dan konflik sosial-budaya. Kita juga tidak akan mungkin mengabaikan lahirnya klan politik atau dinasti politik di seluruh kepulauan Indonesia. Singkatnya, realita ini mengategorisasikan Indonesia kedalam rezim neopatrimonial. Neopatrimonial adalah rezim yang berpura-pura demokratis (impersonal) tetapi menjalankan sistem kleptokrasi, bukan untuk mengejar kepentingan publik, melainkan untuk memperkaya diri sendiri. Neopatrimonialisme dapat hidup berdampingan dengan demokrasi, memproduksi patronase dan klientelisme, dimana politisi membagikan sumber daya negara kepada jaringan pendukung politiknya (Fukuyama, 2015). Itulah sebabnya, meskipun sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia dan paling demokratis di Asia Tenggara, Indonesia juga bergelar negara terkorup di Asia Tenggara.
Lebih luas lagi, oligarki adalah kesimpulan lain yang lagi dominan dalam memotret praktik politik di Indonesia. Demokrasi dan oligarki saling bergandeng tangan dalam menapaki politik Indonesia. Menurut Jeffrey Winters (2013) data dari tahun 2010 menunjukkan bahwa kekayaan bersih rata-rata empat puluh oligarki terkaya Indonesia lebih dari 630.000 kali PDB negara (sebagai perbandingan: di Thailand dan Korea Selatan kesenjangan masing-masing 190.000 dan 69.000 kali). Meskipun oligarki ini kurang dari 2/1.000.000 orang dari jumlah penduduk, aset gabungan mereka sama dengan 10 persen dari PDB. Orang-orang ini mewakili hampir 2/10.000 penduduk, rata-rata mereka memiliki aset keuangan 1.220 kali dari pendapatan kelas menengah Indonesia per tahun. Pada gilirannya, Winters mengatakan bahwa titik awal untuk memahami politik Indonesia kontemporer adalah pengamatan bahwa ketidaksetaraan materi yang ekstrim menghasilkan ketidaksetaraan politik yang ekstrim pula. Inilah dua pertanyaan utama ujian demokratisasi di Indonesia. Neopatrimonialisme yang berkolaborasi bersama oligarki. Kedua hal inilah yang dapat membangunkan kita dari mimpi demokratisasi.
Bukan Pesimistis Tapi Realistis
Dua pertanyaan diatas juga akan dihadapi oleh pilkada serentak di 2015 ini. Seperti apa kronologisnya. Pertama, Pilkada adalah sebuah pertarungan sumber daya, siapa yang mampu mengalokasikan sumber daya secara optimal dalam arena, maka dialah pemenangnya. Disinilah neopatrimonialisme menemukan momentumnya. Jika kandidat adalah petahana, maka berbagai sumber daya negara akan dimanfaatkannya. Bukan rahasia umum lagi, salah satunya adalah birokrasi yang rentan dimobilisasi. Dana bansos (bantuan sosial) berada diurutan selanjutnya dalam metode neopatrimonialisme. Seperti kasus terbaru yang menjerat salah satu gubernur di Sumatera: membagikan sumber daya negara (bansos) kepada jaringan pendukung politiknya. Kedua, Pilkada sulit untuk menghadirkan inklusifitas. Pilkada di 2015 kini menjadi pertarungan segelintir oligarki lokal. Jika dirata-ratakan 852 pasangan calon yang resmi mendaftar di 269 daerah, maka setiap daerah hanya terdiri dari 3 pasangan calon saja. Ini berarti pilkada 2015 akan terjadi persaingan sengit, dan pastinya semakin banyak biaya politik yang digelontorkan. Olehnya itu, para cukong (oligarki) adalah solusi tepat bagi kandidat mendapatkan suntikan dana yang besar. Sebaliknya, Pilkada penting bagi oligarki lokal karena salah satu cara mempertahankan harta dan mempertahankan pendapatan, yang dalam bahasa Winters (2013) oligarki adalah mengelola kekayaan secara politis. Di Pilkada simbiosis mutualisme terjadi diantara kandidat dan oligarki.
Bukan pesimistis tapi realistis adalah senandung Pilkada serentak 2015. Menutup mata terhadap realita diatas adalah habitus kebanyakan dari kita. Kita terlalu mencintai prinsip “life must go on” tanpa tekad ada yang harus dirubah secepatnya. Kita terlena akan kebusukan-kebusukan yang pernah ada. Penjajahan dan otoritarianisme Orde Baru adalah contoh kongkritnya. Tetapi, belum terlambat untuk membersihkannya.
***
Referensi
Francis Fukuyama (2015). "Why is Democracy Performing so Poorly?". Journal of Democracy, Volume 26, Number 1, January 2015, hal. 11-20.
Jeffrey A Winters (2013). "Oligarchy and Democracy in Indonesia". Indonesia, 96, October 2013, hal. 11-33.
Edward Aspinall dan Mada Sukmajati (2015). Politik Uang di Indonesia: Patronase dan Klientelisme Pada Pemilu Legislatif 2014. Yogyakarta: Polgov.
No comments: