Akhir-akhir ini, publik dikejutkan dengan pemberitaan maraknya “geng motor” dengan segala varian aksi-aksi mereka di jalanan. Mulai dari tindakan kekerasan, perampokan, bahkan pemorkosaan sebagaimana yang dilakukan oleh Klewang dan anak buahnya di Pekanbaru. Belum lagi tindakan dari gengster Mappakoe yang telah berani memasuki isu sensitif (keagamaan) di Indonesia, mengenai pemboman rumah ibadah di Makassar. Posisi mereka (gengster) yang labil, dikarenakan usia mereka yang baru menginjak usia 17-an tahun, rentan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang menginginkan adanya situasi sosial yang tidak kondusif.
Tulisan ini, lebih kepada upaya untuk menangkap makna di balik fenomena geng motor. Karena untuk menjelaskan panjang lebar mengenai ragam tindakannya, saya kira sudah cukup banyak dimuat diberbagai media.
Tertangkapnya Klewang di Pekanbaru, telah terbuka fakta-fakta yang mengejutkan. Dimana dalam perekrutan anggotanya, terutama perempuan mesti “dipakai” terlebih dahulu sebagai ritual dalam merayakan keanggotaannya dan sepertinya ini menjadi syarat. Namun, beda geng beda ritualnya termasuk Mappakoe juga memiliki prosedur tersendiri tentunya.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhkdy8uEKBULhkIm8OlQ1_59FJNR4TqHA4rY6LUQpUAPxQ0tq2oyrdDZ0-U6wHIQJqBqXQPj03WMXrvdYLaDsP5bcSSc1MVSRfonVLXgZROHR56rXB-1eciqJcISIjZa3RpsQaux4nD_7XO/s320/geng-motor.jpg) |
Foto : www.kabarmakassar.com |
Dari sejumlah kejahatan yang mereka lakukan, hampir semuanya diberitakan diberbagai media. Namun, sayangnya ada juga media yang tidak objektif dalam melakukan pemberitaan. Terutama menyangkut Mappakoe di Makassar, dalam suatu siaran salah satu media nasional menyatakan bahwa Mappakoe ini melakukan pemboman di sejumlah gereja di Makassar. “Sejumlah gereja” ini mensyaratkan lebih dari satu. Namun, faktanya hanya satu rumah ibadah yang dibom. Pada posisi ini, media tampil tidak objektif. Sejahat-jahatnya geng motor, mereka perlu diletakkan secara adil dan objektif dalam ruang pemberitaan dan wacana. Saya kira, menjadi objektif tidak akan menghapus kesalahan-kesalahan gangster. Jadi tanpa memprovokasi dengan memainkan kosa-kata (pemaknaan) tetap akan diproses oleh penegak hukum. Jika sasarannya adalah membentuk persepsi publik atas geng motor, saya kira ini menjadi keliru.
Jalanan sebagai Arena
Geng lahir atas kesamaan latar belakang sosial, mereka membentuk komunitas sebagai wadah untuk menyalurkan “kegalauan”nya dalam bentuk ragam ekspresi. Namun disayangkan lebih kepada tindakan kekerasan dan ugal-ugalan di jalanan. Geng memang lebih di konotasikan pada sekolompok bandit yang lebih mengeksplorasi sumber-sumber daya mereka dengan tujuan tertentu, (katakanlah) “negatif” dalam banyak pandangan orang. Intinya, diluar dari keumuman tindakanan masyarkat disekelilingnya.
Jalanan telah menjadi arena untuk menunjukkan kapasitas sosial mereka. Dengan segala sumber daya yang melekat padanya digunakan sebagai senjata perlawanan sosial atas kemapanan diluar darinya yang tidak mampu mengerti akan keinginan dan harapan-harapan mereka. Termasuk lingkungan sosial yang tidak kondusif bagi tumbuh kembangnya “kedirian” mereka.
Kenapa jalanan?. Pertanyaan ini memang lucu, dan jawabannya karena mereka naik motor?. Namun dalam tulisan ini, bukan itu yang dimaksudkan, akan tetapi jalanan sebagai wadah dalam memproduksi kuasa secara simbolik. Di jalanan mereka (gangster) dapat melakukan sirkulasi kuasa yang ditransformasikan dalam bentuk penaklukan atas apa yang mereka anggap sebagai lawan-lawan politik mereka. Tentu untuk menunjukkan siapa-siapa lawan politik mereka butuh penelusuran lebih jauh, namun saya mengasumsikan bahwa lawan mereka bukan hanya geng motor lain, akan tetapi orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka, siapapun itu.
Kita tidak habis fikir, bagaimana anak yang kelihatan soleh di lingkungan keluarganya, tapi diluar (jalanan) tiba-tiba beringas. Apa yang mereka cari?, tidak ada lain sebuah pengakuan akan eksistensi mereka sebagai legitimasi kehadirannya. Tentu jalan yang mesti mereka tempuh adalah membangun basis-basis kelompok yang mengandalkan solidaritas dan disitupun lahirnya consensus akan tujuan yang mereka inginkan dan dengan sendirinya akan memproduksi elit (ketua) yang memiliki kuasa dari yang lainnya (anggota).
Komunitas-komunitas (geng motor) ini akan tetap dipertahankan dan dipromosikan lewat tindakan-tindakan kongkrit dijalanan. Mereka bertindak sebagai agen yang tetap membangun strategi untuk mengumpulkan sumber daya yang ada, atau dalam bentuk control kepentingan dalam sebuah arena. Hingga konsekuensinya adalah penaklukan tanpa henti atas saingannya (kompetitor; geng lain) dengan cara apapun sekalipun diluar dari keumuman yang dipersepsikan oleh kebanyakan. Memang, bahwa sumber daya yang dipertaruhkan dalam sebuah arena tidak selamanya dalam bentuk materi, akan tetapi bisa dalam bentuk lainnya seperti ketersohoran (Bourdieu, 2012). Dan bisa jadi, bahwa yang mereka butuhkan adalah demikian itu.
Solidaritas; alat kekerasan?
Konsekuensi dari perebutan resources dalam sebuah arena adalah memantapkan kelompok dengan solidaritas yang tinggi. Karena itu untuk menciptakan solidaritas maka lebih memudahkan (secara matematis) ketika menciptakan komunitas dengan jalan mengkonfirmasi kedekatan kultural. Apakah geng motor kemudian melakukan itu?. Geng motor hadir dalam wajah tanpa mengkonfirmasi kedekatan kultur, tapi lebih kepada motivasi kesamaan pengharapan dan cita-cita di luar dari biasanya. Mereka membutuhkan ruang untuk menerjemahkan imajinasi harapan itu dalam bentuk aksi-aksi liar di jalanan.
Namun demikian, bagaimanapun kita (paling tidak diri saya) membayangkan kenapa solidaritas itu tumbuh dan kuat pengaruhnya diantara anak-anak yang secara umur masih labil, dan bagaimana solidaritas itu dapat bertahan ditengah kepungan stigma “negatif” atas mereka. Saya kira, sulit untuk mengurai kondisi demikian. Tapi paling tidak bahwa solidaritas itulah yang membuat mereka mampu survive ditengah konfrontasi dalam sebuah arena. Solidaritas pula yang membuat mereka berani menghadapi (sekalipun sendiri) segala kemungkinan karena dalam imajinasi mereka masih ada kawan yang dapat membantu, paling tidak membela harga dirinya.
Dari uraian ini, masih terbuka lebar perdebatan dari persfektif mana saja untuk memahami geng motor. Paling tidak dari uraian ini menunjukkan bahwa; pertama, geng motor tidak hadir dalam ruang yang tanpa resiko dan makna simbolik, mereka bertarung demi sumber daya dalam sebuah arena.
Kedua, bahwa solidaritas yang tidak terarahkan akan bermuara pada konfrontasi pada setiap kondisi apapun, sekalipun menggunakan kekerasan.
Ketiga, membaca fenomena geng motor, tidak ada salahnya berangkat dari pandangan “arus bawah”, agar tetap ada keseimbangan dalam ruang wacana.
***
*Tulisan ini digarap sekitar bulan Mei 2013 bertepatan dengan maraknya isu geng motor di Indonesia.
Referensi
Bourdieu, Pierre. 2012. Arena Produksi Kultural: Sebuah Kajian Sosiologi Budaya. Bantul: Kreasi Wacana.
No comments: