Oleh
Tulisan ini merupakan tanggapan terhadap tulisan Dr. Mada Sukmajati (
Analisis KR, Petugas Partai, 15 April 2015). Menurutnya, Presiden dan anggota DPR merupakan kader partai, dan sudah sangat wajar jika siapa pun pengisi jabatan-jabatan politis tersebut, menjadi perpanjangan tangan partai. Seperti diketahui sebelumnya, isi pidato ketua umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di Kongres IV PDIP di Bali beberapa waktu lalu, penuh emosi dan sarat nada sindiran.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjuuwh6ZLYXLEPZVhvsyT4ICgJgHmm7ZgI7pmR6V748tAm8kFokla1BLRtUWgBKUQOjNj8NWNosQO0FYqMJV0EiEa6EkTpLJbxTB4jf-MHSHty3v3BKThUTJn5uAHdTGYTIpkYZAtUcNkBh/s320/jokowi-petugas-partai.jpeg) |
Foto : infoindonesiakita.com |
Pasalnya, istilah “petugas partai” menimbulkan berbagai riak wacana politik tentang mana yang harus diutamakan oleh kader partai yang sedang mengemban amanah sebagai Presiden: titah partai, atau keberpihakan kepada mayoritas rakyat yang dipimpinnya meskipun bertentangan dengan rasionalitas partai?. Apakah derajat petugas partai yang disematkan kepada Jokowi oleh Megawati, sama kedudukannya dengan derajat petugas partai yang sudah lama melekat pada kader-kader PDI Perjuangan di Senayan?. Kejernihan berpikir dalam mendudukkan konteks/isi pidato dengan objek/sasaran isi pidato mutlak dibutuhkan.
Terkait hal ini, pengalaman Presiden demokratis Filipina, Manuel Luiz Quezon semasa pemerintahannya pernah membuat pernyataan bijak terkait etika politik: My loyalty to my party ends when my loyalty to my country (nation) begins. Dengan kata lain, kutipan itu menguatkan posisi seorang Presiden sebagai popular leader (pemimpin rakyat) yang sudah seharusnya menjalankan kewajiban untuk mengabdi dan membela kepentingan rakyat, daripada sekedar perpanjangan partai pengusung utama dan mengimplementasikan kebijakan partai (penguasa) yang di Indonesia masih sangat egaliter dan cermin keinginan politik segelintir golongan.
Dalam perpolitikan di Indonesia, UU tentang Pemilu secara eksplisit menegaskan bahwa seorang kandidat Presiden dan Wakil Presiden memang membutuhkan partai untuk meningkatkan chance to be elected (peluang terpilih) dalam Pemilu Presiden, tidak ada keraguan untuk hal itu. Namun juga tidak serta-merta saat terpilih nanti, Presiden harus patuh tunduk pada platform dan ideologi partai yang membesarkan namanya, sebagaimana makna petugas partai yang dipahami bulat-bulat oleh Megawati.
Bisa dibayangkan apa yang terjadi jika Presiden mengambil kebijakan sejalan dengan partai pendukung namun bertentangan dengan akal sehat mayoritas rakyat. Di mana vox populi vox dei sebagai ruh demokrasi bekerja jika kebijakan Presiden tidak untuk rakyat yang dipimpinnya. Presiden harus menunjukkan karakternya sebagai pemimpin Negara, pemimpin seluruh rakyat, dan harus cermat memilah kebijakan yang pro terhadap rakyat atau hanya pro terhadap kemauan elit-elit partai pengusung.
Tampaknya, ada kecenderungan dari penulis sebelumnya untuk mensejajarkan derajat petugas partai dari Presiden dengan anggota DPR. Penulis menolak logika tersebut. Secara prosedural, Presiden dan anggota DPR sama-sama melewati kualifikasi internal partai, lalu disodorkan kepada publik untuk dipilih secara sah di arena Pemilu dan Pileg. Namun secara substansi, Presiden tidak sama dengan anggota DPR. Presiden pemimpin rakyat, ia adalah yang dipilih melalui agregasi suara secara nasional.
Sudah sepatutnya ia mengutamakan maslahat politik rakyat dalam kebijakan politiknya. Di sisi lain, anggota DPR ialah mereka yang bahu-membahu menyukseskan program dan menerjemahkan ideologi/platform partai untuk menjadi agenda publik, mereka agaknya tidak peduli dengan kebijakan atau program partai tempat bernaung itu sesungguhnya memihak kepada rakyat atau tidak. Tentu masih segar dalam ingatan dengan kasus polemik pencalonan Komjen Pol. Budi Gunawan sebagai Kapolri, publik terhenyak melihat para anggota DPR merapatkan barisan menjadi benteng seorang tersangka gratifikasi naik ke jabatan paling strategis di institusi penegak hukum.
Akhirnya, dibalik itu semua, akan lebih baik jika partai-partai di DPR (tidak hanya PDI Perjuangan) mengevaluasi diri, memastikan bahwa platform, ideologi dan program partai berbanding lurus dengan kepentingan rakyat Indonesia. Hingga tidak ada alasan untuk melabeli Presiden sebagai petugas partai untuk membuatnya tunduk pada garis kebijakan partai pengusung jika sewaktu-waktu Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan mengkooptasi kebijakan partai yang tidak sejalan dengan kehendak rakyat Indonesia.
***
*Tulisan ini digarap sekitar bulan April 2015, sebagai tanggapan atas tulisan Mas Mada Sukmajati di Kolom Analisis Harian Kedaulatan Rakyat.
No comments: