Ekumene dan Laut Cina Selatan

Oleh


Laut Cina Selatan bergolak, sedang hipertensi. Bukan lantaran gelombang dan badai. Pun bukan pertanda sunami. Tapi karena sejumlah negeri, saling klaim dan unjuk gigi. Bukan tanpa sebab, ia bagai sayembara sang putri. Menarik hati pujangga cinta dari pelbagai penjuru negeri. 

Begitulah kira-kira “menyajakkan” geopolitik dari sebuah biosfer akuatik yang membentang dari Malaka hingga Formosa. Biosfer yang kini diperebutkan, diperoncekan, dan dipersejarahkan dengan berbagai dalil. Biosfer ini bernama Laut Cina Selatan. Biosfer ini, kini bersiap menjadi Ekumene baru.

Foto : anekainfounik.net
Ekumene yang dalam bahasa aslinya disebut Oikoumene merupakan istilah Yunani zaman Hellenis untuk membilangkan masyarakat-masyarakat beradab yang mendiami suatu wilayah – saat ini Ekumene juga diperalihkan sebagai Kristenisasi: gerakan penyatuan gereja sedunia. Ekspansi Alexander Agung untuk menyatukan Barat dan Timur menjadi titik kelaziman istilah Ekumene pada saat itu. Pun begitu halnya ketika Romawi menemukan momentum kekuasaannya, Ekumene adalah cita-cita ekspansi sang kaisar hingga ke Asia. Pasca-Romawi, setidaknya sejak awal Masehi sampai dengan sebelas abad setelahnya, Ekumene beralih dibawah hegemoni Arab. Dua abad setelahnya, bangsa nomad Eurasia menundukkan Ekumene, meskipun kini mereka nyaris hilang tak berbekas. Setelah itu, Ekumene berada dibawah kendali Eropa beberapa abad kemudian hingga saudara sepersusuannya memberangus nenek moyang Geronimo di Amerika. Merekalah yang kini mengendalikan Ekumene alaf ketiga. 

Laku imprealisme adalah cara membangun Ekumene. Robin W. Winks dalam British Imperealism: Gold, God, Glory menyebutkan genealogisnya dalam tiga teori: keserakahan manusia akan kekayaan; idealisme manusia untuk menyebarkan ajaran Tuhan; dan kehausan manusia terhadap kekuasaan. Teori pertama adalah sama dengan kapitalisme. Alasannya, kapitalisme yang hulunya adalah konsumsi dan pasar maka hilirnya adalah imprealisme. Teori kedua mendaku bahwa Ekumene dapat dibangun bila semua manusia telah mengenal Tuhan. Bangsa Barbar yang katanya tidak beradab dibaptis untuk tujuan ini. Teori ketiga mendaku bahwa bukan Tuhan dan uang, tapi wijaya. Atavisme yang dimiliki manusia adalah penyebab laku agresif untuk menyerang dan berperang, untuk kebesaran dan kejayaan. Pada gilirannya, Ekumene dibangun melalui palagan. Tak penting apakah mereka “Talut” atau “Jalut”.

Lantas ada apa dengan Laut Cina Selatan? Mengapa ia diperoncekan? Tiongkok menjadi negara yang paling bernafsu memiliki kekuasaan atas biosfer ini. “Kekayaan alam yang dikandungnya, menjadi penyebab utama perebutan wilayah Laut Cina Selatan”, demikian diberitakan sejumlah media internasional belakangan ini. Kawasan Laut Cina Selatan secara ekonomi politik menjanjikan sumber daya yang menggiurkan. Biosfer ini memiliki posisi strategis menguasai perdagangan dan keamanan Asia Tenggara, sekaligus Asia Pasifik. Kawasan ini adalah jalur utama perdagangan gas alam cair, kurang lebih 6 triliun kaki kubik setiap tahunnya, ditambah dengan cadangan lahan migas yang menjanjikan. Pilihan politik Tiongkok jelas, ia percaya dengan postulat Deep Stoat: “if you would understand world geopolitic today, follow the oil.” Di samping itu, pulau-pulau reklamasi di gugusan karang Mischief Reef memungkinkan pangkalan militer dapat dibangun oleh Tiongkok. Jelas, ini menggaham Paman Sam yang lagi “melendeh” di Pasifik.

Tiongkok pandai, tanpa harus berotot cukup dengan otak. Dibanding memberangus biosfer darat yang memiliki tuan, lebih baik membangun daratan di samudera akuatik yang tak bertuan. Tiongkok bersiap membangun Ekumene baru sekaligus mengembalikan imperium lama yang pernah berjaya. Sebagaimana Arnold Toynbee, Bapak Sejarah Modern pernah berujar dalam buku fenomenalnya “Mankind and Mother Earth”: “…tampaknya seolah-olah kuasa pengaruh Amerika di Ekumene akan berlangsung sama singkatnya dengan kuasa pengaruh Mongol sebelumnya. Masa depan masih menjadi teka-teki, tetapi kelihatannya dalam babak sejarah Ekumene selanjutnya, peran kepemimpinan mungkin berpindah dari Amerika ke Asia Timur.”

Itulah manusia dan peradaban, selalu menyukai palagan. Gontok-gontokan pun rela dilakukan, asalkan lulus jarum lulus kelindan. Membayangkan rengkuh akan kejayaan, seumpama mempersunting sang “Putri Laut Selatan”. 

***
Ekumene dan Laut Cina Selatan Ekumene dan Laut Cina Selatan Reviewed by Pondok Kanal on 1/26/2016 04:17:00 PM Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.