Politik Stigma


Pernyataan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, M. Nasir yang “melarang” kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) masuk kampus merupakan respon atas gerakan Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC) di kampus Universitas Indonesia yang menawarkan konseling bagi kelompok LGBT (Lihat).

Foto : psychologybenefits.org
Setelah pernyataan tersebut menggelinding di media elektronik terutama media sosial, beberapa hari kemudian M. Nasir lewat kicauannya di twitter mengatakan bahwa yang dilarang adalah ketika LGBT memamerkan kemesraan mereka atau bercinta di kampus (Lihat). Saya pikir, klarifikasi M. Nasir di media sosial pada tanggal 25 Januari 2016 tersebut tidak relevan jika pelarangan hanya bagi LGBT. Siapapun yang melakukan hal yang sama sebagaimana pernyataan M. Nasir tersebut, maka harus dilarang. Tapi pertanyaannya adalah bagaimana kita mendefinisikan “memamerkan kemesraan”?. Apakah M. Nasir bisa memberikan definisi yang jelas? Lalu bagaimana dengan muda-mudi yang juga memamerkan kemesraan? Apakah itu normal atau sama saja? Jika sama saja, maka sama-sama harus dilarang.

Pernyataan M. Natsir boleh dikatakan sebagai prasangka berlebihan terhadap kelompok LBGT dan itu mewakili sebagian besar masyarakat Indonesia yang memberikan stigma negatif pada orang-orang yang berorientasi seksual berbeda ini. Bagaimana sebenarnya stigma (labeling) itu bekerja?. 

Politik stigma tidak bisa dilepaskan dari Erving Goffman dengan teori labelingnya, sebagai bagian dari interakionisme simbolik yang menekankan pada interpretasi (pelabelan) orang lain yang dapat mempengaruhi orang-orang yang terlabeli atau bahkan menjadi korban (Jones,2010:146). Untuk memahami teori labeling Erving Goffman, ada beberapa langkah taktis yang bisa digunakan untuk melihat cara kerjanya (Usman, 2004: 74-75). Pertama, mengidentifikasi serangkaian karakteristik atau tindakan seseorang (penyimpangan primer), kemudian mengkategorisasikan orang tersebut sebagai salah satu dari calon yang dipilih menjadi bagian dari suatu studi penyimpangan. Kedua, mengidentifikasi bagaimana orang - orang lain akan memperlakukan orang tadi sesuai dengan label yang diberikan kepadanya. Ketiga, mengetahui tipe tindakan (reaksi) yang dilakukan oleh orang yang melakukan penyimpangan primer tadi setelah memperoleh perlakuan tertentu dari orang-orang lain di sekelilingnya, terutama mengidentifikasi bagaimana ia mengadopsi perlakuan tersebut. Jika terjadi penyimpangan lain sebagai hasil dari proses interasi tersebut, inilah yang disebut sebagai penyimpangan sekunder. Keempat, membahas masalah stabilitas pola interaksi di antara mereka yang memberi label menyimpang dan orang yang diberi label menyimpang.

Namun terpenting dalam teori labeling, bahwa pada dasarnya yang menciptakan “penyimpangan” adalah kelompok yang memberikan label pun terlibat. Misalnya dalam kasus LGBT, Negara dengan instrument hukumnya atau orang kebanyakan dapat dikatakan bagian dari proses konstruksi “penyimpangan” tersebut. Ini dikarenakan LGBT dihadirkan sebagai objek yang didefinisikan sebagai masalah sosial. Sementara Negara atau orang kebanyakan bertindak sebagai subjek yang mendefinisikan.

Salah satu premis utama dari teori labeling adalah bahwa proses – proses yang terjadi dimulai dengan adanya tindakan atau perbuatan yang memberikan label tertentu kepada seseorang. Dengan demikian, pelabelan tersebut memberikan dampak pada seseorang mengenai identitas. Pada akhirnya, identitas lain yang melekat padanya akan tersingkir kebelakang dikarenakan dominannya labeling tersebut (Sandstrom,dkk., 2012: 441).

Cara kerja yang memberikan label sebagai bentuk dominasi, dilakukan dengan apa yang disebut oleh Goffman “institusionalisasi”. Dimana pengaturan kehidupan benar-benar dirancang untuk mengganti citra diri yang ada dengan yang baru, yang lebih dapat diterima oleh institusi. Institusi total ini dipahami sebagai tempat-tempat tinggal dan bekerja di mana sejumlah orang yang dikondisikan sama dipisahkan dari masyarakat yang lebih luas untuk waktu yang cukup lama, bersama-sama menjalani kehidupan yang diatur secara formal berdasarkan jadwal-jadwal yang ketat (Jones, 2010: 150). 

Namun Goffman juga tidak menyangkal kemampuan penerima (seperti; LGBT) untuk melawan atau menyesuaikan dengan proses yang dikenakan kepada dirinya pada tingkat tertentu (Jones,2010:151). Artinya, dengan kemampuan interpretif yang terlabeli, maka ia dapat memanipulasi interpretasi orang lain untuk menghadirkan orang lain tersebut dan bertindak berdasarkan apa yang oleh terlabeli kehendaki.

***

Referensi

Jones, P. 2010. Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari Teori Fungsionalisme Hingga Post-modernisme. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Sandstrom, K.L., D.D. Martin & G.A. Fine. 2012. "Interaksionisme Simbolik di Penghujung Abad". Dalam Ritzer, G. & B. Smart. Handbook Teori Sosial. Jakarta: Nusa Media.

Usman, S. 2004. Sosiologi: Sejarah, Teori dan Metodologi. Yogyakarta: CIRED.

Politik Stigma Politik Stigma Reviewed by Pondok Kanal on 1/27/2016 11:41:00 AM Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.