Oleh
Kapitalisme tidak hanya dilihat sebagai cara berproduksi. Capital merupakan relasi sosial yang dalam proses sirkulasinya akan berusaha menyeret seluruh aspek kehidupan kita dalam logikanya. Waktu senggang pun kian menjadi arena terpenting dalam proses akumulasi capital. Paradox yang muncul kemudian, ketika buruh merasa mampu menundukkan kapitalis untuk memandekkan waktu kerjanya, pada saat yang sama ia sebenarnya masuk dalam perangkap kapitalis dalam arena eksploiitasi yang lain” WAKTU SENGGANG”. Itulah yang coba diuraikan oleh penulis dalam bukumya:
Sosiologi waktu senggang merupakan suatu fenomena kapitalisme yang coba diuraikan oleh penulis berangkat dari pengamatannya atas berbagai fenomena atau kejadian-kejadian yang terjadi di kota Makassar. Dimana fenomena tersebut digambarkan dari berbagai sisi moderenitas warga Makassar yang menghabiskan waktu senggangnya di pusat-pusat perbelanjaan mewah seperti mall yang pada umumnya adalah konsumen yang sedang berimajinasi tentang status sosial yang akan didapatkan dengan berbelanja produk-produk bermerek seperti Nike, Adidas, MK, Charles And Keyt, jam tangan mewah, makanan cepat saji ala KFC ataukah Mc Donald. Status sosial yang dikejar oleh orang-orang adalah mereka yang percaya terhadap mitos modern masyarakat konsumsi’ apa yang kau konsumsi adalah seperti apa kau’. Diantara mereka ada yang berangan-angan bahwa dengan meniru gaya barat maka mereka telah menjadi manusia modern yang tidak ketinggalan zaman. Budaya barat kian menjadi kiblat, Foya-foya, barang-barang mewah, bahkan tindakan sudah kebarat-baratan.
Mall adalah tempat yang tepat untuk menghabiskan waktu senggang dimana tempat-tempat tersebut di eksploitasi oleh kaum perempuan. Dimana perempuan menjadi bagian penting dari aktivitas di mal sebagai sebuah aktivitas waktu senggang. Didalam buku halaman 115 penulis mencantumkan pendapat Bowbly yang semakin mempertegas bahwa dalam aktifitas konsumsi perempuan lebih dominan.
“Terkait dengan aktifitas konsumsi, perempuan memang lebih sering menjadi sarana penjualan produk. Diungkapkan Bowbly (1985) Via Celia Lury misalnya saja pusat-pusat perbelnjaan, istana-istana konsumsi dibangun sebagai tempat untuk menarik dan menyambut kaum wanita secara khusus. Di Bon Marche-Paris, buku harian, kalender, bulletin dan bahkan transportasi menuju ke toko disediakan untuk menarik kaum wanita belanja dan merasa nyaman begitu mereka tiba di sana”. (Hal.115)
Budaya konsumsi yang kian melonjak di kota Makassar melahirkan keborosan yang luar biasa hal tersebut bisa dilihat dari partisipasi konsumen yang mengunjungi mall-mall di kota Makassar yang jumlahnya mencapai jutaan orang pertahun. Ditambah lagi para kaum wanita dituntut untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya semakin membuktikan bahwa kaum wanita tidak terlepas dari belanja.
Dalam buku ini penulis menyampaikan bahwa bukan hanya kaum wanita yang menghabiskan waktu senggangnya di mall tetapi juga kaum lelaki, namun itu tidak banyak bahkan biasanya laiki-laki hanya mengantar anak mereka dan mengantar isteri mereka saja. Perempuanlah yang lebih mendominasi. Namun satu hal disini adalah mengenai posisi kaum laki-laki dalam menghabiskan waktu senggang yang kurang diuraikan oleh penulis karena walau bagaimanapun seorang pria juga menghabiskan waktu senggangnya di tempat-tempat tertentu. Dalam buku tersebut penulis hanya menguraikan bagaimana perbandingan antara kaum laki-laki dan perempuan dalam memenuhi kebutuhannya terutama pada saat berbelanja di mal. Yang dalam pengamatan penulis kaum wanitalah yang banyak mengambil peran terutama dalam hal berbelanja. Perbedaan pria dan wanita dalam hal berbelanja mungkin bukan lagi hal yang asing karena semua kalangan tahu bahwa wanita lebih ribet dan pria lebih praktis contohnya ketika membeli suatu produk di sebuah toko biasanya spesies pria langsung menuju ke area produk yang ingin dibelinya. Sedangkan wanita lebih suka berjalan-jalan dulu, lihat sana lihat sini sebelum menuju ke area produk yang ingin dibelinya. Sehingga tidak jarang jumlah barang yang dibeli jenisnya lebih banyak daripada yang direncanakan sebelumnya. Hal itu disebabkan kaum wanita lebih sering melakukan impulsive buying dibandingkan pria, karena wanita menghabiskan lebih banyak waktu untuk melihat-lihat produk-produk lain. Bahkan adakalanya produk-produk yang sebelumnya tidak ada dibenaknya untuk dibeli, namun karena terpikat, akhirnya dibeli juga oleh para wanita. Sementara dari jenis produk yang dibeli, kaum pria cenderung untuk membeli barang-barang yang dapat membantunya dalam kegiatan sehari-hari (instrumental items) dan produk-produk pengisi waktu luang (leisure items) yang memproyeksikan kebebasan dan aktivitas yang dilakukannya. Sementara wanita cenderung membeli barang-barang simbolis dan mampu mengekspresikan dirinya, yang berkaitan dengan aspek penampilan dan emosional.
Dalam buku ini, Muhammad Ridha sangat konsisten dan jeli dalam melihat berbagai fenomena sehingga melahirkan karya tulis yang dapat menjadi bahan bacaan yang sangat menarik dan menginspirasi. Ulasan penulis mengenai pemanfaatan waktu senggang di kota Makassar sejak zaman colonial hingga sekarang sangat detail. Dimana menurutnya pemanfaatan waktu senggang tidak bias dilepaskan dari bangunan mal yang didirikan dimana-mana. Waktu senggang identik dengan konsumsi. Dan perempuan menjadi korban yang paling rentan dalam komodifikasi waktu senggang tersebut.
Dengan demikian konteks kemenangan kapitalis dalam memanfaatkan semua aspek kehidupan untuk akumulasi kapital berdasarkan uraian penulis mencurigai ecara ekonomi politik bahwa aspek kehidupan harian telah dirampas oleh kapital. Jadi, berekreasi atau mengisi waktu senggang bukanlah momen politik dimana kita berhasil menyetop laju kerja kapital, namun ikut bekerja di dalam proses akumulasi kapital. Perlu diketahui bahwa kapital telah menyulap waktu senggang kita sebagai komoditas dalam ‘leisure economic’ untuk meraup keuntungan berlipat-lipat.
***
No comments: