Resensi Buku - Politik Khomeini: Wajah Etika Islam

Oleh

Iman Khomeini, siapa yang tidak mengenal beliau hampir semua tokoh politik tahu bagaimana persepsi beliau dalam memandang politik dan agama bagaikan seperti dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Revolusi Islam Iran pada tahun 1979 telah melahirkan kajian-kajian dikalangan para ulama dan sarjana peneliti dengan latar akademis masing-masing sebagian memandangnya dari perspektif teologi-politik, sebagian lagi mengarah ke perspektif filsafat. Namun semua peneliti relatif memiliki kesimpulan yang sama bahwa dalam pandangan Khomeini, politik dan agama merupakan dua entitas yang tidak terpisahkan itulah yang coba diutarakan oleh penulis dalam bukunya:

Dalam buku ini Sayyid Hasan Islami mencoba mengutarakan bahwa politik bagi Imam Khomeini merupakan manifestasi dari etika dan akhlak, politik sebagai perpanjangan dari etika. Kenapa kemudian akhlak yang dijadikan dasar imam khomeini ? karena akhlak merupakan titik tolak pembangunan peradaban manusia, karena Rasulullah saw sendiri diutus dimuka bumi untuk menyempurnakan akhlak mulia. Dan Imam Khomeini tidak mau keluar dari apa yang diajarkan oleh Rasulullah saw. 

Akhlak mencakup seluruh aspek kehidupan dan seluruh ilmu. Kemencakupan akhlak terletak pada pemiliknya atas segenap pengetahuan ilmunya, itulah kemudian dikatakan bahwa akhlak begitu menentukan jati diri dan nasib seseorang. Imam Khomeini pertama-tama ingin mengajak masyarakat untuk kembali kepada konsepsi yang benar terhadap akhlak dan politik, agar masyarakat tidak mudah diombang- ambingkan oleh informasi ambigu.

Bagi Imam Khomeini, pemisahan agama dan politik merupakan cara berfikir kejahiliaan. Karenanya tidak ada alasan kuat yang mendasari adanya pemisahan politik dan agama. Politik merupakan sesuatu yang dicakupi oleh akhlak, yakni bagaimana cara seseorang mempraktikkan politik secara benar di tengah-tengah masyarakat. Imam Khommeini ingin mengubah stigma pemikiran, harapan dan praktik keliru dalam politik, meskipun juga diakui bahwa praktik politik memang terjadi banyak sekali penyimpangan. Namun Khomeini mendobrak pemahaman bahwa politik juga bisa bersih asalkan tidak dipisahkan dari agama atau akhlak yang bertujuan membina karakter yang mulia dan terpuji.

Dalam buku ini Sayyid Hasan Islami tidak hanya mengungkap pandangan Imam Khomeini, tetapi juga membandingkan pandangan Thomas Hobbes, dan Jean-Jacques Rousseau sehingga disimpulkan bahwa manusia memang menjadi arena konflik antara kebaikan dan kejahatan. Oleh karena itu manusia perlu ditata, dan tempat penataannya itu ialah jiwa. 

Penataan dilakukan karena hakikatnya dunia hanya tempat berproses, Khomeini mengibaratkan dunia tempat “ bercocok tanam “ dan akhirat tempat memanen amal perbuatan, karenanya dunia dan akhirat saling melengkapi. Tidak hanya sampai disitu bagi yang sepakat bahwa politik memang diperlukan untuk merealisasikan ajaran islam hingga tercipta kemaslahatan dunia akhirat, Sayyid Hasan Islami juga memaparkan bahwa ada tiga pilar akhlak atau etika dalam politik : keikhlasan, keterbukaan pada kritik dan hidup sederhana.

Dalam politik yang dikembangkan Imam Khomeini, berpolitik sama dengan melakukan penyempurnaan diri dan masyarakat. Kesempurnaan pada manusia berarti begerak dalam garis tujuan penciptaan atau fitrahnya, mengingat kekuasaan dan politik merupakan godaan yang dapat menyeret seseorang berlaku dzalim dan melupakan tujuan penciptaanya. Karena itu akhlak punya andil menentukan serta menjaga tatanan dalam masyarakat.

Imam Khomeini mengingatkan bahwa berperilakulah dengan akhlak mulia disemua bidang, khususnya politik, yang akan menuntun pada kemuliaan emosional dan spiritual karena sejatinya memang merupakan syarat dan tuntutan akal. Juga salah satu tugas dari para penguasa politik dalam masyarakat Islam adalah memelihara dan memajukan nilai dan syiar Islam.

“Hari ini adalah hari ketika kalian diwajibkan menjaga Islam, maka itu, kalian harus menjaga Islam. Menjaga islam berarti memodifikasi perbuatan. Kalian harus berperilaku baik kepada masyarakat, menjadi saudara rakyat, dan jangan sekali-kali mengacuhkan rakyat.” (358)

Sayyid Hasan Islami tidak hanya sekedar menganalisis pandangan-pandangan Imam Khomeini, tetapi juga memperkaya referensi dari berbagai disiplin keilmuan. Akan tetapi penulis kurang memperkaya referensi tokoh politik dalam Islam. Dalam perpolitikan Islam, penulis lebih condong dan cenderung melirik hanya kepada satu tokoh yaitu Ali Bin Abi Thalib padahal ketika kita kembali mereview sejarah perpolitikan islam baik itu sejarah politik Abu Bakar, Utsman Bin Affan, dan terlebih lagi Umar Bin Khattab. Yang tercatat sebagai tokoh pejuang islam yang paling berani, gagah perkasa bukan hanya ditakuti oleh kalangan manusia namun dikisah lain diceritakan bahwa pada suatu malam ketika Umar berjalan keluar dari rumahnya, ditengah perjalanan ia berpapasan dengan syaitan (iblis) syaitan itu langsung lari terbirit-birit karena melihat umar sang khalifah pemberanih dan tidak segan dalam menumpas kebatilan.

“Peranan Umar yang begitu menonjol tentu bukan hanya itu, ketegasan sikap dan kebijaksanaan berpikirnya, dengan kecenderungan selalu mengutamakan musyawarah, juga politiknya dalam mengendalikan pemerintahan serta hubungannya dengan pihak luar, patut sekali menjadi studi tersendiri yang akan cukup menarik..”(Muhammad Husain Haikal).

Namun terlepas dari hal tersebut, Politik Khomeini: Wajah Etika Islam yang ditulis Sayyid Hasan Islami berhasil membuktikan bahwa sesungguhnya dalam Islam, etika dan politik merupakan dua sisi dalam satu koin. Dengan pandangan seperti ini pada dasarnya setiap orang menjalankan politiknya masing-masing. Kesucian politik yang diembangnya terkait erat dengan seberapa intens dia dalam memperbaiki jiwa, sebagai sumber etika dan akhlak. Karena, menurut Imam Khomeini, politik merupakan pancaran dan manifestasi etika baik ditatanan individu maupun sosial.

***
Resensi Buku - Politik Khomeini: Wajah Etika Islam Resensi Buku - Politik Khomeini: Wajah Etika Islam Reviewed by Pondok Kanal on 3/15/2017 08:22:00 AM Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.