Dilema Partai Politik di Dalam Arena Demokrasi
Menguatnya kembali wacana calon independen dalam kontestasi elektoral beberapa pekan terakhir ini, kembali mengingatkan kita bahwa proses deparpolisasi masih membayang-bayangi praktik demokrasi di Indonesia, setelah fenomena “Teman Ahok” berhasil menarik perhatian publik dalam membangun gerakan politik non parpol yang merepresentasikan suara publik berusaha mencoba untuk mendobrak eksistensi kemapanan parpol sebagai alat produksi akumulasi suara publik dalam arena demokrasi modern.
![]() |
Foto : megapolitan.kompas.com
|
Survei nasional Lembaga Survei Indonesia tahun 2007 menunjukkan besarnya dukungan warga dari Sabang sampai Merauke atas calon independen. Total 68,8 persen responden setuju pencalonan presiden tidak hanya oleh parpol, tetapi juga oleh individu atau kelompok di luar partai. Hanya 20,2 persen yang tak setuju. Sisanya ”tidak tahu”. Mayoritas menilai aturan yang mengharuskan calon dari partai telah mengurangi hak warga dalam partisipasi politik (Kompas.com 1/4/2011).
Data Skala Survei Indonesia juga menunjukkan, pada Pilkada serentak tahun 2015 ada 35 persen pasangan calon perseorangan. Sebanyak 14,4 persen mereka berhasil menang dan mengalahkan pasangan calon dengan mesin partai politik (Berdikari online, 15/3/2016). Meski secara presentase jumlahnya masih terbilang kecil, namun bukan tidak mungkin jalur indenpenden dalam kontestasi elektoral kedepan akan terus meningkat dan bahkan menjadi tren.
Persoalan menguatnya kembali wacana deparpolisasi terkait tingginya antusias publik menerima calon independen sebagai jalur partisipasi politik alternatif dalam arena kontestasi elektoral di Indonesia, sebenarnya tidak terlepas dari kinerja dan citra parpol yang cenderung mengedepankan politik transaksional dalam beberapa tahun belakangan ini. Sehingga hal tersebut berdampak pada menurunnya tingkat kepercayaan publik terhadap kinerja parpol. Setidaknya ada beberapa faktor yang mempengaruhi menguatnya wacana calon independen dalam kontestasi elektoral.
Pertama, biaya mahar politik yang mahal oleh parpol, sehingga berimplikasi pada terbatasnya partisipasi politik masyarakat/kader partai dalam kontestasi elektoral melalui jalur parpol.
Kedua, kinerja parpol secara nyata tidak dirasakan sama sekali oleh masyarakat, sehingga signifikansi dampak dan manfaat eksistensi parpol tidak begitu berpengaruh dalam persoalan kehidupan sosial politik masyarakat.
Ketiga, secara fungsional parpol tidak lagi menjadi instrumen intermediari dalam mengartikulasi dan mengagregasi suara dan kepentingan publik.
Keempat, kepentingan politik parpol sebagai lembaga yang merepresentasikan suara dan kepentingan publik sudah tidak sejalan dengan preferensi kepentingan politik masyarakat, yang dikarenakan dominasi kepentingan elit parpol begitu besar dalam mempengaruhi arah gerak politik parpol.
Sehingga tidak mengeherankan, tingginya antusiasme publik dalam mendorong wacana-wacana deparpolisasi melalui gerakan politik non parpol dalam mengusung calon independen dalam arena kontestasi elektoral, oleh sebagian kalangan menganganggap aksi tersebut sebagai wujud atas rasa ketidakpuasan dan ketidakpercayaan publik terhadap kinerja parpol dalam menyerap dan mengagregasi suara dan kepentingan publik.
Akan tetapi pada persoalan ini tidak serta merta ketika peran-peran dan fungsi parpol mulai diminmalisir (deparpolisasi) di dalam praktik demokrasi melalui gerakan politik non parpol dalam mengusung calon independen sebagai perluasan partisipasi politik publik akan mampu menyelesaikan persoalan pengartikulasian dan pengaggregasian kepentingan publik. Karena jika peran-peran dan fungsi parpol benar-benar dikerdilkan dalam arena demokrasi. Lantas bagaimana gerakan politik non parpol dalam mengusung calon independen menjawab persoalan partisipasi dalam konteks kebijakan sebagai manifestasi suara dan kepentingan publik? ketika dalam gerakan politik non parpol masih terjebak pada mobilisasi partisipasi pada tingkat elektoral. Bukankah substansi demokrasi adalah termanifestaikannya suara dan kepentingan publik dalam ranah kebijakan.
Instrumen Intermediari
Terlepas dari buruknya citra dan kinerja parpol dimata publik saat ini. Peran parpol sebagai instrumen intermediari tidak dapat dilepaskan begitu saja dalam arena politik demokrasi, karena parpol merupakan satu-satunya diantara kelompok kepentingan dan gerakan politik yang ada, yang berkaitan langsung dalam perumusan kebijakan. Karena pada dasarnya proses penyerapan dan pengakumulasian kepentigan publik hingga sampai pada tahap kebijakan, tidak terlepas dari peran parpol pada level grassroot di masyarakat, pada level center office seperti DPP, DPW, DPC, hingga pada level publik office seperti pejabat eksekutif dan legislatif.
Ketika persoalan yang sama diperhadapkan pada kelompok kepentingan dan gerakan politik non parpol yang mengusung calon independen dalam kontestasi elektoral, tentunya akan menyisakan sederet pertanyaan, apa yang menjadi instrumentasi intermediari gerakan politik non parpol dalam memperjuangkan kepentingan publik hingga pada ranah kebijakan? dan bagaimana signifikansi peran, bargaining posistion serta mekanisme gerakan politik non parpol dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah? tentunya hal tersebut masih menjadi pekerjaan rumah bagi gerakan politik non parpol dalam memperjuangkan suara dan kepentingan publik hingga sampai pada ranah kebijakan.
Pelembagaan Politik
Dalam praktik demokrasi di Indonesia saat ini, tidak dapat dipungkiri kepercayaan dan kepuasan publik terhadap kinerja parpol sangatlah rendah, bahkan tidak jarang publik skeptis dalam melihat dan menilai kinerja parpol sebagai instrumen intermediari dalam menyerap dan memperjuangkan suara dan kepentingan publik hingga pada tahap kebijakan.
Kuatya dominasi elit mempengaruhi dan menentukan arah gerak politik parpol menjadi salah satu penyebab terhambatnya peran intermediari parpol dalam mengartikulasi dan mengagregasi suara dan kepentingan publik, sehingga kepentingan dan manifestasi ideologi politik parpol tidak lebih dari sekadar representasi kepentingan dan pemikiran politik elit, yang pada akhirnya melahirkan praktik oligarki dalam lembaga demokrasi (parpol) tersebut.
Fenomena seperti ini sebenarnya tidaklah mengherankan dalam dinamika kepartaian di Indonesia, karena secara historis sebagian besar parpol di indonesia saat ini lahir dari preferensi kepentingan politik elit (top down), bukan murni dari dari gerakan politik yang merepresentasikan preferensi kepentingan politik publik (bottom up).
Karena itu, terkait penyerapan dan pengakumulasian suara dan kepentingan publik, penguatan pelembagaan politik terhadap gerakan politik masyarakat non parpol (parpolisasi) dipandang sebagai salah satu opsional alternatif yang efektif bagi masyarakat dalam memperjuangkan suara dan kepentingan politik mereka, hal tersebut juga sebagai bentuk gugatan terhadap buruknya kinerja parpol saat ini, dimana tidak adanya kejelasan gerakan ideologi politik dari parpol, sehingga berimplikasi kepada kebingungan masyarakat dalam membaca peta ideologi parpol dalam menyuarakan kepentingan berdasarkan preferensi politik mereka.
![Dilema Partai Politik di Dalam Arena Demokrasi](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgJteNK3TmeACReuyEKpoNM_C_64rvoDzvUTp99Ymdfp09H58CCRgzcgTp1agAKlBNxhnK5oXt_-fL5ef5zwAjmpNoJ6mUYxkw6AMFs3ogZSP7n1uTV-NnH6IsWuDN8E_GawzFr15kx463x/s72-c/1423226temanahok780x390.jpg)
No comments: