Judul Buku : Negara Sunni: Kala Negara Diambilalih Agama
Penulis : Johan Wahyudi
Penerbit : Prudent Media
Tahun : 2016
Hal : xiv + 162
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Konflik Sampang: Menyoal Netralitas Negara
Buku ini mencoba menghamparkan di depan kita bagaimana negara yang diasumsikan bertindak netral gagal memainkan perannya dalam mengurai berbagai persoalan yang dihadapinya. Gagasan tentang negara liberal yang memposisikan diri sebagai institusi yang netral dari berbagai kepentingan kelompok sosial, toh pada kenyataannya justru terlibat didalam peminggiran kelompok tertentu atas desakan kelompok sosial lainnya. Ini menandakan bahwa apa yang kemudian dibayangkan oleh penggagas kelompok liberal terkait peran negara yang netral tidak menemukan konteksnya di Indonesia. Implikasinya, negara cenderung berpihak kepada kelompok sosial dominan yang berimbas pada lahirnya dominasi atas kelompok minoritas yang diberasal dari dua ranah, negara dan kelompok mayoritas di sisi lain.
Sebagaimana diuraikan dalam buku ini, konflik yang terjadi di Sampang terkait pengusiran kelompok Syiah oleh kelompok mayoritas yang beraliran Sunni memperlihatkan bagaimana sebenarnya ketidaknetralan negara berwujud ketika negara bertindak berdasarkan fatwa penyesatan yang dilakukan oleh MUI Sampang dan MUI Jawa Timur terhadap kelompok minoritas Syiah. Karena itu, tidak berlebihan ketika Wahyudi (h.7) sampai kepada asumsi bahwa membayangkan negara bersikap netral dalam setiap pengambilan kebijakan, merupakan sesuatu yang utopia.
Bagaimana sebenarnya kelompok mayoritas memanfaatkan celah untuk menggiring institusi negara bertindak?. Dalam buku ini diuraikan konsep mainstream yang dipinjam dari konsep Clarke dan Martin Van Bruinessen. Sebagaimana diuraikan oleh Dewi Nurrul Maliki yang merujuk kepada penggambaran Clarke bahwa “konsep tentang mainstream senantiasa mengacu pada kekuatan-kekuatan yang telah cukup kuat dan mapan, terinstitusionalisasi, lekat dengan adanya praktik hegemoni yang dihasilkan sebagai hasil dari kolaborasi dengan kekuatan politik guna memonopoli kehidupan agama suatu masyarakat, serta memberlakukan sistem kepercayaan dan praktik keagamaan mereka sendiri” (Maliki, 2010:49). Ringkasnya, dominasi dan klaim kebenaran (truth claim) menjadi inti untuk memahami logika mainstream ini bekerja. Lewat truth claim, kelompok mayoritas dapat memaksakan kebenaran ideologis yang dianutnya untuk dipaksakan melalui instrumen negara, baik melalui produk hukum maupun lewat kebijakan (Wahyudi, h.9). Oleh karena itu, keberhasilan kelompok mayoritas yang beraliran Sunni sebagai kelompok mainstream memaksa negara bertindak untuk merelokasi kelompok Syiah di Sampang adalah contoh bagaimana logika mainstream bekerja.
Jika melihat lebih jauh bagaimana negara mengakomodir kepentingan kelompok sosial mayoritas, maka tidak berlebihan apabila Marx dan Engel mendudukkan negara sebagai representasi kelas atau kelompok sosial tertentu. Artinya, bahwa segala yang dilakukan oleh negara pada hakikatnya adalah mewakili kepentingan kelas sosial dominan, karena itu negara bersifat instrumentalis. Secara garis besar, teori negara instrumentalis tidak melihat negara sebagai institusi yang independen dan netral yang memiliki kedaulatan politik, akan tetapi sebagai instrumen penindasan dan administrasi yang bisa digunakan untuk berbagai tujuan oleh kelas-kelas sosial yang mengontrol kekuasaannya (Hiariej, 2003: 274). Sekalipun teori ini dilandasi pada pemahaman bahwa economic base sebagai faktor determinan, akan tetapi pada hakikatnya negara hanya bertindak sesuai kepentingan kelompok dominan. Dan kasus Sampang, sekalipun motifnya bukan ekonomi tapi pada intinya bahwa negara telah menjadi instrumen bagi kelompok dominan untuk melakukan penindasan.
Selain mempersoalkan negara, yang juga sangat penting untuk disinggung disini adalah bagaimana konflik di Sampang bisa terjadi. Menurut buku ini, sekalipun yang muncul dipermukaan terlihat sebagai konflik keluarga antara Rois Hukama (sunni) dan Tajul Muluk (syiah) yang memperebutkan santriwati, akan tetapi perbedaan aliran keagamaan antara Sunni-Syiahlah yang menjadi faktor determinan (h.116-121). Karena itu, konflik asmara dalam keluarga tersebut hanya sebagai perantara atau pemicu ledakan kekerasan yang terjadi di sana. Sayangnya, dalam buku ini tidak dijelaskan lebih jauh secara geneologis konflik yang terjadi di dalam dunia Islam antara Sunni-Syiah sebagai faktor determinan tersebut.
Tulisan Dewi Nurrul Maliki cukup menarik ketika konflik keagamaan dalam dunia Islam pada dasarnya diletakkan dalam konsep geopolitik, dimana terdapat gengsi yang dimiliki oleh kawasan Timur Tengah terutama Haramayn—Makkah dan Madinah—sebagai tempat lahir dan berkembangnya peradaban Islam, tak pelak telah menjadikan wilayah ini sebagai sentral, terutama dalam pendidikan dan pusat bagi peradaban Islam yang ‘murni’ (Maliki, 2010: 51). Maka penyebaran Syiah yang banyak dipelopori oleh Iran (Persia), dianggap sebagai ancaman bagi supremasi dan gengsi Arab Saudi di dunia Islam. Selain pertarungan gengsi tersebut, yang juga tidak disinggung adalah bagaimana proses kemunculan dua entitas ini, Sunni-Syiah, pasca wafatnya Nabi Muhammad Saw.
Akan tetapi, hal yang perlu kita apresiasi kepada penulis buku ini adalah penulis mengingatkan kepada kita semua bahwa persoalan mendasar yang kita hadapi sebagai bangsa adalah masih belum tuntasnya problem multikulturalisme di Indonesia, karena itu intoleransi akan selalu hadir dalam kehidupan kita sebelum semua komponen bangsa menerima keberagaman sebagai realitas kehidupan yang mesti diterima sebagai kekayaan bangsa.
Kedua, penulis dengan meminjam konsep social learning Albert Bandura mengatakan bahwa yang menjadi persoalan kita dalam kehidupan sosial adalah ketika kita menerima kekerasan yang dipraktekkan oleh individu dan kelompok sebagai sesuatu yang lumrah. Dengan menjadikan praktek kekerasan dimasa lalu sebagai bagian dari pembelajaran sosial.
Ketiga, bahwa yang ikut berkontribusi dalam banyak kekerasan keagamaan adalah ketika ajaran teologis ini dikapitalisasi dalam ranah politik praktis. Karena itu yang perlu kita waspadai adalah para politikus busuk yang menjadikan agama sebagai jualan politik.
Sebagai penutup, penulis buku ini menawarkan mediasi sebagai resolusi konflik dalam kasus Sampang dan pihak mediator adalah negara. Tapi, mungkinkah negara dapat berlaku adil sebagai mediator, apabila wataknya instrumentalis?. Sepanjang negara masih berpihak pada paham mainstream (Sunni), maka selamanya negara akan menjadi Negara Sunni.
***
Referensi
Wahyudi, J. 2016. Negara Sunni: Kala Negara Diambilalih Agama. Yogyakarta: Pruden Media.
Hiariej, E. 2003.“Teori Negara Marxis”. Dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 7 Nomor 2, November 2003, h. 261-282.
Maliki, D.N. 2010.” Resistensi Kelompok Minoritas Keagamaan Jemaat Ahmadiyah Indonesia”. Dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 14 Nomor 1, Juli 2010, h. 47-62.
No comments: