Peran Perempuan Dalam Reformasi Birokrasi

Oleh

Baru-baru ini dunia telah memperingati Internasional Woman’s Day, Indonesia termasuk yang berkontribusi dalam perayaan hari internasional perempuan. Sejumlah tuntutan diteriakan oleh perempuan salah satunya adalah kampanye tentang kesetaraan hak dan perlindungan atas kaum perempuan. Di Indonesia deretan mengenai kekerasan dan masalah perempuan menjadi catatan yang cukup panjang, mulai dari kekerasan rumah tangga, perlindungan sosial terhadap perempuan, perlindungan terhadap buruh migran perempuan dan jaminan sosial terhadap pekerja perempuan disektor informal. Rentangnya kasus terhadap perempuan menjadi salah satu problem yang harus segera ditangani oleh negara.

Foto : almanar.co.id
Selain itu, isu yang seringkali luput perhatian adalah tentang keterlibatan perempuan dalam agenda besar reformasi birokrasi di Indonesia. Isu perempuan seringkali terjebak pada stigmanisasi feminis yang secara struktural membatasi perempuan dalam agenda-agenda besar termasuk pada reformasi birokrasi, sementara disatu sisi demokrasi memberikan persamaan hak tanpa membedakan jenis kelamin. Bagaimana peran perempuan dalam reformasi birokrasi dan mengapa peran perempuan masih sangat minim dalam reformasi birokrasi. Melalui tulisan ini, saya akan menjawab beberapa pertanyaan diatas secara singkat.

Minimnya peran perempuan terhadap reformasi birokrasi disebabkan oleh beberapa hal, pertama karena faktor struktural. Di Indonesia budaya birokrasi masih sangat di dominasi oleh faktor paternalistik. Gagasan terhadap reformasi birokrasi cenderung di dominasi pada karakter yang sangat maskulin dalam artian bahwa birokrasi masih sangat didominasi oleh lelaki selain itu birokrasi cenderung diposisikan sebagai sesuatu yang sangat struktural dan kaku. Misalnya pada pembagian kerja yang seringkali masih didominasi oleh klasifikasi jenis kelamian yang implikasinya berujung pada pembagian kerja antara pekerjaan yang harus dikerjakan oleh wanita dan pekerjaan yang boleh dikerjakan oleh lelaki. Secara teoritik hambatan pada reformasi birokrasi yang disebabkan oleh faktor keperempuanan dan ke laki-lakian merupakan fenomena dari adanya standarisasi pada organisasi birokrasi yang berbasis jenis kelamin ( Widaningrum: 1999). 

Hambatan selanjutnya disebabkan oleh faktor tipe ideal birokrasi ala Weberian. Birokrasi Weberian akan bertolak belakang dengan peran dan keterlibatan perempuan dalam reformasi birokrasi. Peran perempuan pada reformasi birokrasi dianggap keluar dari konsep rasional Weberian karena mengedepankan karakter cultural yang feminis sementara itu birokrasi Weberian mengedepankan karakter rasional maskulin yang mencerminkan ciri paternalistik. Birokrasi kita terjebak pada konsep rasionalitas Weberian sementara secara cultural, konteks Weberian tidak semuanya relevan dengan kondisi yang dihadapi.

Implikasinya, perempuan tidak punya banyak ruang untuk akselerasi hak politik, sementara isu dan problem perempuan seringkali dikesampingkan oleh negara sembari disatu sisi kekerasan dan ketidak adilan terhadap perempuan terus meningkat. Birokrasi yang harusnya menjadi organisasi publik dan menyuarakan isu perempuan pun tidak bisa berbuat banyak karena faktor kultural. Akibatnya diskriminasi dan penindasan terhadap perempuan akan menjadi pelampiasan bagi birahi “maskulin” (merujuk pada lelaki), karena ketimpangan hak secara politik melegitimasi terjadinya kekerasan tersebut.

Selain itu, kepentingan-kepentingan bagi perempuan akan semakin redup karena hak politik yang sejak awal telah dikebiri. Imbasnya peran perempuan hanya menjadi subyek pasif dalam birokrasi tanpa bisa berbuat banyak. Birokrasi dengan karaketer paternalistik kemudian akan mengakar menjadi birokrasi yang maskulin dengan menyampingkan kepentingan-kepentingan perempuan sebagai warga negara yang harusnya memiliki persamaan hak antara lelaki dengan perempuan.

Kedepannya agenda besar reformasi birokrasi harus menempatkan perempuan sebagai salah satu aktor yang bertindak secara aktif. Posisi perempuan pada birokrasi tidak lagi sebagai subyek yang pasif tetapi harus ditransformasikan menjadi subyek yang aktif. Ruang aktualisasi bagi perempuan harus diperbanyak sembari membangun konsolidasi birokrasi yang bersinergi dengan cultural yang paternalistik. Kedudukan ini menempatkan perempuan sebagai salah satu aktor kunci dalam menentukan arah reformasi birokrasi sehingga ciri paternalistik dengan karakter yang sangat cultural tidak lagi mendominasi birokrasi tetapi lebih kepada birokrasi fleksibel. Misalnya pada pembagian kerja yang tidak lagi harus menggunakan klasifikasi jenis kelamin tetapi lebih kepada potensi dan skill yang dimiliki.

Menurut Widaningrum (1999), Peran perempuan dalam birokrasi harus di posisikan pada kerangka teoritik dengan menempatkan konsep feminis pada birokrasi (administrasi publik). Ini dilakukan dengan cara mendefenisikan ulang konsep birokrasi Weberian dengan pendekatan feminisme. Pendekatan ini dilakukan dengan melakukan depersonalisasi kekuasaan pada birokrasi yaitu sebuah pendefenisian birokrasi dengan pendekatan gender bahwa karakter birokrasi harus berbasis pada gender serta instrument kerja birokrasi yang disusun harus berkarakter gender.

Pendekatan peran birokrasi berbasis gender dengan depersonalisasi kekuasaan birokrasi berangkat pada dasar filosophi yang menunjukan bahwa keberadaan birokrasi harus memberikan pelayanan yang terbaik kepada publik. Untuk itu pembagian kerja pada birokrasi tidak harus terjebak pada instrument jenis kelamin antara lelaki dan perempuan yang sangat personal tetapi yang harus di kedepankan adalah pembagian kerja dengan instrument yang lebih substansial seperti pada basis keahlian, profesionalitas, kemampaun managerial, etika dan responsibilitas.
***

Refrensi

Widaningrum, Ambar. 1999. “Peran Gender dalam Legitimasi Administrasi Publik”. Jurnal Kebijakan & Administrasi Publik, VOL 3, No. 1.
Peran Perempuan Dalam Reformasi Birokrasi Peran Perempuan Dalam Reformasi Birokrasi Reviewed by Pondok Kanal on 4/03/2016 11:59:00 AM Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.