Oleh
Abstrak
Tujuan dari tulisan ini adalah menguraikan tentang instrument-instrumen simbol menciptakan relasi kuasa yang dibentuk oleh wacana dan digunakan oleh aktor/pelaku yakni pengamen dalam menunjukkan kepentingannya. Perangkat simbol yang digunakan pengamen ini memiliki kekuasaan dan pengetahuan si penerima simbol tersebut dalam memaknainya. Antara penerima dan pemberi sinyal simbol tersebut terdapat pengetahuan akan makna simbolisasi sehingga menuntut untuk melakukan seperti pesan yang disampaikan simbol tersebut. Penelitian ini dilakukan di wilayah ujung malioboro atau kawasan Museum Benteng Vredeburg, mengingat tempat ini banyak dikunjungi oleh orang-orang untuk melepaskan kepenatan dan masalah yang sedang dihadapi ataupun hanya sekedar nongkrong duduk santai. Hal ini tentunya dimanfaatkan oleh pengamen sebagai ruang untuk mencari nafkah. Dengan mengenakan pakaian yang amburadul, rambut gondrong serta bertatto seringkali disimbolkan oleh masyarakat sebagai ‘premanisme’ ternyata menciptakan wacana bagi masyarakat hal itu mampu menciptakan ketidakamanan. Melalui pakaian ini terjadi proses pemaksaan untuk mendapatkan upah, di sisi lain terdapat relasi kuasa melalui pakaian yang memberikan pesan kepada pengunjung agar mereka diberikan upah.
Kata Kunci: Diskursus, kuasa, wacana, tanda dan penanda
Pendahuluan
Yogyakarta sebagai kota yang ramah dan terbuka ini menyimpan fenomena menarik, jutaan manusia mengunjungi tempat tersebut mulai dari menuntut ilmu, berwisata hingga mencari nafkah dan lain-lain. Berbagai aktifitas dan profesi itulah menambah warna bagi kota Yogyakarta, salah satunya profesi mengamen. Mengamen yang diidentikkan sebagai musisi jalanan seringkali dijumpai di pinggiran jalan ataupun tempat makan di setiap sudut kota tersebut (Baca: Yogyakarta). Mengamen menjadi salah satu profesi yang dijalankan oleh musisi jalanan itu untuk menyalurkan bakat mereka, ataupun untuk mencari nafkah. Namun, seringkali pengamen yang kurang memiliki bakat pun turut serta menjalankan profesi tersebut, meski dengan bermodal alat musik seperti gitar, gendang dan lain-lain pun mereka “memaksakan” kehendak mereka terhadap pendengarnya. Termasuk pengamen yang berada di KM 0 tepatnya di ujung jalan Malioboro, pengamen disana menjadi pengamen untuk mencari nafkah. Berbagai lirik lagu yang dinyanyikan para pengamen, jika ditelaah lebih dalam lagi lagu yang dinyanyikan menjadi lagu kesukaan para pengamen ini memiliki makna dan maksud tersendiri dalam menghegemoni para pendengar. Berbagai trik/cara yang dilakukan oleh pengamen ini dalam mendapatkan upah mulai dari bernyanyi dengan mengandalkan lirik lagu serta muka memelas, dan trik yang paling alami adalah dengan menggunakan pakaian serta aksesoris yang melekat di tubuh mereka. Pakaian yang amburadul, menggunakan aksesoris serta memiliki tato di tubuh mereka menciptakan citra tersendiri di mata masyarakat, baik itu bersifat negatif maupun menarik simpatik orang lain.
Berita tentang aksi brutal yang dilakukan oleh pengamen baru-baru ini (baca: jogja.tribunnews.com.29/12/2012) yang menewaskan satu orang tua dan tiga orang luka-luka. Peristiwa ini semakin mempertajam wacana di masyarakat bahwa pengamen, selain mencari nafkah dengan bernyanyi di jalanan, di tempat umum, dan kendaraan umum dapat juga bertindak anarkis yang mengancam jiwa orang lain ketika mereka tidak mendapatkan keinginannya. Mengamen merupakan jenis pekerjaan bagi para musisi jalanan dengan mengharap pemberian atau belas kasih dari orang lain. Pemberian upah yang diidentikkan dengan balas jasa ini terkait dengan adanya praktik kuasa diciptakan oleh wacana yang ada dalam pemahaman masyarakat secara umumnya. Terkait konsep wacana yang mampu menciptakan kuasa tersebut dijelaskan oleh Michel Foucault (dalam Mudji sutrisno & Hendar Putranto (ed);150-157) tentang diskursus dan kekuasaan. Dimana Foucault berpikir bahwa kekuasaan itu tidak terpusat melainkan tersebar dimana-mana, seperti yang diyakini oleh para pengikut Hobbes bahwa kekuasaan itu terpusat pada monster yakni Negara dan para aparatur serta institusi-institusi atau lembaga-lembaga pemerintahan. Justru Foucault melihat kekuasaan itu tersebar hingga ke pelosok mikro dalam struktur masyarakat.
Tulisan ini menguraikan tentang instrument-instrumen simbol yang digunakan oleh aktor/pelaku yakni pengamen dalam menunjukkan kepentingannya. Perangkat simbol yang digunakan pengamen ini memiliki kekuasaan dan pengetahuan si penerima simbol tersebut dalam memaknainya. Antara penerima dan pemberi sinyal simbol tersebut terdapat pengetahuan akan makna simbolisasi sehingga menuntut untuk melakukan seperti pesan yang disampaikan simbol tersebut.
Metode
Penelitian kegiatan pengamen di ujung malioboro ini menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif adalah istilah generik untuk menyebut berbagai teknik seperti obsevasi, observasi partisipan dan non partisipan, wawancara, individu, intensif, dan wawancara kelompok fokus, yang berusaha memahami pengalaman dan praktik informan kunci (key informan) untuk menempatkan mereka secara tepat dalam konteks
[1]. Pada proses peneltian ini peneliti mengandalkan teknik wawancara dan observasi non partisipan dalam memperoleh data yang akurat dan diinginkan. Pilihan untuk menggunakan metode kualitatif karena yang menjadi fokus penelitian ini adalah manusia (pengamen) serta segala kegiatannya. Penelitian kualitatif ini mengungkapkan serta mengolah data yang bersifat deskriptif seperti transkip wawancara, pengamatan langsung di lapangan, foto, gambar, dan rekaman video. Untuk memperoleh data di lapangan peneliti tentunya harus menyiapkan berbagai alat perlengkapan berupa: alat perekam, kamera, balpoin dan memo untuk mencatat hal yang penting.
Proses wawancara dilakukan dengan cara tanya jawab untuk memperoleh data atau informasi yang dibutuhkan. Pertanyaan yang muncul dalam proses wawancara sesuai dengan topik yang sedang diteliti serta berdasarkan pada pertanyaan penelitian. Karena topik tulisan ini mengenai siasat dan instrument apa yang digunakan pengamen untuk memenuhi kepentingannya, sehingga peneliti mengambil dua orang pengamen sebagai key informan penelitian, dimana kedua pengamen in memiliki kapabilitas dan kapasitas dalam mencakup keseluruhan model pengamen yang ada. Dalam hal ini peneliti mewawancarai mas Adit dan mbak Dora karena kedua orang ini merupakan pelaku utama karena berprofesi sebagai pengamen sehingga kedua orang ini merupakan sumber untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan dalam tulisan ini.
Selain wawancara peneliti juga melakukan observasi non partisipan di mana peneliti tidak ikut di dalam proses kehidupan para pengamen yang sedang diobservasi, dan secara terpisah berkedudukan selaku pengamat. Di dalam hal ini peneliti hanya bertindak sebagai penonton saja tanpa harus ikut terjun langsung untuk menjadi pengamen. Peneliti hanya mengamati perilaku pengamen serta pengunjung yang nongkrong di ujung malioboro.
Cover sebagai Penanda
Dalam mengungkapkan pakaian itu berfungsi sebagai representasi dari jati diri seseorang perlu mencari tahu apa, bagaimana dan mengapa pakaian ini digunakan. Misalnya ketika seorang bocah laki-laki mengenakan seragam merah putih (baju putih,celana merah) dengan rapi sambil menjinjing tasnya berlari terburu-buru, secara otomatis kita dapat menebak bahwa bocah itu adalah murid SD yang buru-buru ke sekolah dan berusaha untuk tidak telat. Melalui pakaian yang dikenakan seseorang kita dapat menebak profesinya secara langsung.
Pakaian dijadikan sebuah tanda akan jati diri seseorang, seperti ketika kita melihat seseorang mengenakan seragam polisi yang berdiri di pinggir jalan berarti dia adalah polisi lalu lintas yang bertugas untuk mengatur lalu lintas. Ketika pengendara melihat orang yang mengenakan seragam seperti itu secara otomatis dia akan berusaha mematuhi aturan lalu lintas karena tidak ingin kena tilang ataupun denda oleh polisi lalu lintas. Sikap taat yang ditunjukkan oleh pengendara ini merupakan praktik diskursus akan kekuasaan. Seperti yang diungkapkan oleh Foucault bahwa kekuasaan itu tidak terpusat pada instansi-instansi atau lembaga-lembaga pemerintah serta para aparatur Negara, tetapi kekuasaan itu tersebar menyentuh ranah kehidupan masyarakat hingga skala mikro. Seperti pada wacana yang terjadi pada pengendara ketika melanggar lalu lintas maka akan diberikan sanksi/hukuman oleh polisi tersebut. Wacana tersebut berusaha untuk membentuk dan mengatur perilaku individu serta hidup dalam struktur masyarakat ini sebagai upaya dalam menciptakan tubuh yang patuh (docile body) para aktor yang menggunakan penanda ini sebagai bentuk kekuasaannya yang telah dilegitimasi oleh pengetahuan masyarakat.
Sama halnya dengan pakaian pengamen
[2] yang amburadul, terlihat melalui celana yang sobek, pakaian yang kumuh dan lusuh, ditambah dengan aksesoris berupa anting, kalung tengkorak, gelang, rambut gondrong dan bertatto dianggap sebagai orang/kelompok yang dapat menciptakan ketidakamanan serta mengancam keselematan orang lain. Pakaian pengamen seperti itu ternyata memiliki kuasa tersendiri dalam membuat pengunjung untuk memberikan upah bagi para pengamen tersebut.
Selain bernyanyi sebagai bentuk kewajiban mereka sebagai pengamen, secara alamiah mereka juga mengenakan pakaian yang amburadul seperti celana yang sobek serta baju yang kumal dan lusuh senantiasa menutupi tubuh mereka acapkali kita saksikan sebagai pengunjung ujung malioboro.
Secara langsung pakaian yang dikenakan oleh para pengamen ini telah menghegemoni para pengunjung dalam hal pemberian upah sebagai bentuk balas jasa. Di sisi lain pakaian yang amburadul, menggunakan aksesoris, rambut gondrong serta bertatto menciptakan wacana negatif yakni diidentikkan dengan “premanisme” bagi masyarakat secara umumnya. Bagaimana wacana itu terus tumbuh dan berkembang? Hal ini disebabkan adanya pemahaman serta pengetahuan sebelumnya dan diturunkan dari masa ke masa. Wacana akan orang yang memiliki tattoo identik dengan premanisme mengingatkan kita akan peristiwa Penembakan Misterius (Petrus) yang terjadi di masa Orde Baru. Di mana orang-orang yang bertatto merupakan musuh Negara yang harus diberantas karena mengancam keamanan masyarakat.
Sejarah mengenai Petrus ini membentuk wacana di lingkungan masyarakat bahwa pengamen yang bertatto membuat masyarakat was-was dan merasa khawatir akan keamanannya sehinga mau tidak mau pengunjung terpaksa memberikan uang kepada si pengamen ini demi keselamatannya. Namun di sisi lain menurut sang pemilik tattoo yakni mbak Dora bahwa:
“Tatto itu adalah seni dan memiliki makna sendiri. Seperti tattoo yang ada di lengan aku yang tertulis Teguh Rahardya yang artinya utusan/wakil Tuhan yang memiliki keteguhan. Dengan adanya tattoo ini memberikan spirit bagi aku dalam menghadapi semua masalah yang sedang aku alami.”
Meski dianggap seni dan memiliki makna sendiri tapi hal itu tidak terjadi bagi masyarakat luas, hanya sebagian masyarakat yang mengerti akan hakikat seni itu bisa menerima kehadiran tattoo di tubuh orang. Selain itu pakaian amburadul yang dikenakan di tubuh mereka mempertegas wacana di masyarakat bahwa pengamen ini kelompok masyarakat yang kehidupannya tidak memiliki tatanan dan aturan, sehingga cenderung melakukan hal yang seenaknya menurut mereka hanya untuk memenuhi kepentingannya. Namun menurut pemaparan salah satu key informan penulis yakni mas Adit, mengatakan bahwa “model pakaian yang kami gunakan itu tidak mengikuti gaya/style orang lain tetapi disesuaikan dengan kenyamanan saja”. Jadi pakaian mereka itu dibentuk secara natural berdasarkan kenyamanan mereka. Meski berpakaian celana sobek dan baju yang kumal dan lusuh, hal itu tidak menjadikan mereka merasa selalu tampil apa adanya.
Berbagai kasus anarkis dan kriminal yang seringkali muncul di media mengenai pengamen membuat citra kriminalitas mudah melekat pada pengamen. Pengamen dianggap malas bekerja dan pembuat onar. Seperti berita yang terjadi baru-baru ini di media jogja.tribunnews mengungkapkan bahwa “dua orang yang mengaku pengamen melakukan aksi penodongan did alam angkutan umum M06A jurusan Kampung Melayu-Gandaria, tepatnya di jalan DI Panjaitan Jatinegara, Jakarta Timur, Jumat (28/12/2012) malam, Satu orang tewas dan tiga lainnya luka-luka dalam aksi kriminal sadis itu”. Menurut saksi mata, pengamen yang naik di bus awalnya nyanyi-nyanyi tetapi setelah itu salah satu dari mereka mengeluarkan belati dan menodong para penumpang bus.
Aksi kekerasan yang seringkali menyeret pengamen sebagai pelaku kriminalitas ini membuat masyarakat takut serta was-wasan ketika berhadapan dengan pengamen. Meski secara pure orang yang bekerja sebagai pengamen ini betul-betul untuk mencari nafkah dan bertahan hidup.
Pengetahuan akan makna/arti pakaian yang amburadul seperti celana sobek, baju kumal, rambut gondrong, dan bertatto yang diidentikkan dengan ‘premanisme’ ini masih bertahan hingga saat ini karena adanya proses transformasi wacana tentang pemaknaan tersebut dari masa ke masa. wacana yang ditransformasikan diyakini memiliki kekuasaan. Berbagai macam bentuk pengoperasian kekuasaan dalam pandangan Foucault baik dari yang jelas maupun yang kasat mata, termasuk dalam praksis kultural pada umumnya yaitu diskursus. Diskursus (
discourse) adalah cara menghasilkan pengetahuan, beserta praktik sosial yang menyertainya, bentuk subjektivitas yang terbentuk darinya, relasi kekuasaan yang ada di balik pengetahuan dan praktik sosial tersebut, serta saling keterkaitan di antara semua aspek ini
[3]. Seperti yang dikatakan dalam
The Archeology of Knowledge (1969) atau yang kita kenal sebagai Arkeologi Pengetahuan yang memberikan penjelasan rigid atas kesatuan-kesatuan diskursus, formasi-formasi diskursif, kejanggalan, eksterioritas, akumuasi, serta deskripsi arkeologis. Dengan menggunakan konsep-konsep seperti “retakan, ambang, batas, seri dan transformasi” yang menggantikan konsep-konsep sebelumnya yakni “tradisi dan pengaruh”.
Dimana tradisi seringkali ditemukan dalam kehidupan masyarakat, meski peristiwa berbeda terjadi seringkali dihubungkan dengan sejarah, pengetahuan akan sejarah menghegemoni kita untuk mematuhi norma-norma yang berlaku pada masa lalu. Tradisi memungkinkan kita mengisolasi “yang baru” di tengah-tengah latar sejarah yang telah permanen dan dapat memindahkan muatan-muatan yang terdapat di dalam “yang baru” tadi kepada orisinalitas, kelihaian dan putusan beberapa individu tertentu yang melahirkan tradisi itu dulunya. Selanjutnya konsep mengenai pengaruh (influence) berkontribusi dalam memudahkan kita untuk menganalisa bagaimana proses penyebaran dan komunikasi. Pengaruh akan pemakanaan terhada simbol pakaian yang digunakan oleh pengamen dapat dilihat dari proses komunikasi dan perilaku antara pengamen dan yang diamennin (dalam hal ini pengunjung suatu tempat).
Konsep transformasi atas pemaknaan simbol pakaian ini dapat ditunjukkan dengan eksistensi atau bertahannya pemikiran negatif atau citra kriminal yang dilekatkan pada pengamen yang berpakaian amburadul tersebut tetap bertahan dalam struktur masyarakat seperti kemampuan adaptasi, inovasi, mempertahankan hubungan-hubungan antar elemen-elemen berbeda, sistem asimilasi dan pertukaran yang ada. Meski terdapat perpaduan (koherensi) antara yang terjadi di masa kini dengan yang telah terjadi dalam rentan waktu yang berbeda.
Seperti paradigma berpikir sebagian masyarakat bahwa pakaian yang amburadul, celana sobek serta baju yang kumal itu tidak mesti diidentikkan dengan ‘premanisme’, tetapi bisa jadi karena ketidakmampuan pengamen ini untuk membeli pakaian yang layak pakai. Ataupun mereka nyaman menggunakan pakaian seperti itu sebagai bentuk kebebasan berekspresi.
Tanda dan Kuasanya
Kekuasaan yang diproduksi oleh simbol merupakan wacana yang perlu didekonstruksikan secara riil dan valid. Menurut Foucault wacana dapat dideteksi secara sistematis suatu ide, opini, konsep dan pandangan hidup dibentuk dalam suatu konteks tertentu sehingga mempengaruhi cara berpikir dan bertindak tertentu. Wacana mengenai kekuasaan simbol memberikan ruang ekspresi bagi penggunanya dalam membentuk opini berdasarkan simbol sebagai representasi jati dirinya. Hubungan antara simbol dan yang disimbolkan itu bukan hanya referensial, melainkan juga produktif dan kreatif. Dalam memproduksi wacana terhadap kekuasaan simbol itu kita dituntut untuk menjelaskan bagaimana terbentuknya wacana tentang simbol memiliki kekuasaan dalam mempengaruhi pikiran orang yang melihat simbol tersebut. Kuasa memproduksi pengetahuan dan bukan saja karena pengetahuan berguna bagi kuasa. Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa, dan sebaliknya tidak ada kuasa tanpa pengetahuan ( Michael Foucault dalam Eriyanto. 2001:66).
Sama halnya dengan pengetahuan kita mengenai makna simbol pakaian yang amburadul dan kumuh yang digunakan pengamen ini merupakan wujud dari ketidakmampuan mereka, sebagai kelompok proletar dan tidak memiliki pekerjaan yang tetap unntuk menjamin kehidupannya di masa depan. Namun secara bersamaan simbol yang digunakan oleh pengamen ini ternyata memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi kita memberikan apa yang menjadi kepentingannya. Hal ini merupakan realitas dari kehidupan pengamen yang dipahami sebagai seperangkat konstruk yang dibentuk melalui wacana. Wacana tertentu membatasi pandangan khalayak serta membentuk opini atau pemikiran tertentu dalam menghayati realitas yang tampak sebagai suatu pembenaran.
Ciri utama menurut Foucault ialah kemampuan untuk menjadi suau himpunan wacana yang berfungsi membentuk dan melestarikan hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu masyarakat. Wacana yang telah menjadi dominan melahirkan konsekuensi-konsekuensi seperti:
1. Wacana dominan memberikan arahan bagaimana suatu objek harus dibaca dan dipahami;
2. Struktur diskursif yang tercipta atas suatu objek tidaklah berarti kebenaran.
Wacana yang berkembang di masyarakat pengamen acapkali bernyanyi secara asal-asalan, yang paling penting itu hanya mendapatkan saweran/upah hanya dengan modal kemampuan pas-pasan. Mengenakan pakaian lusuh dan dalam meminta uang terkesan melakukan pemaksaan. Secara sadar tampilan para pengamen ini tentunya berpengaruh dengan penerimaannya karena ketika penampilan pengamen ini bersih dan enak dilihat maka pengunjung pun tidak merasa segan dalam memberikan upah sedangkan ketika penampilan pengamen yang amburadul dan identik dengan ‘premanisme’ maka pengunjung juga dengan merasa terpaksa untuk memberikan upah. Berdasarkan penuturan mas Adit bahwa:
“kami ini bernyanyi sebagai upaya untuk menghibur pengunjung jadi wajarlah kalo kita meminta hak kita berupa upah, wong artis seperti Agnes Monica ajjha bisa beli mobil itu karena mbak dan mas pada beli kasetnya. Jadi kami pengamen itu sama saja dengan para artis/penyanyi itu sama-sama jual suara yaahhhh bedanya sihhh mereka itu masuk dapur rekaman sedangkan kita maah masih di pinggir jalan nyanyinya. Tampilan memiliki pengaruh terhadap penerimaan, karena pengunjung juga melihat tampilan dan kebersihan para pengamen. Menurut kami tampilan rambut merupakan suatu seni, bukan sebagai premanisme dan tidak dilihat sebagai orang penjahat tetapi merupakan suatu seni. Dan kami sadar hal itu memiliki pengaruh atas penghasilan. Karena pengunjung yang melihat orang bertato dan gondrong terkadang orang terpaksa memberikan upah, tetapi kalo kita ramah pasti pengunjung ihklas memberikan upah”.
Wacana akan pakaian yang amburadul, kumal dan lusuh, rambut gondrong, menggunakan aksesoris berupa anting serta bertatto yang diidentiikan dengan ‘premanisme’ ini telah bermain dalam pikiran masyarakat, sehingga ketika berhadapan dengan orang yang berpenampilan seperti itu selalu ada sikap was-was serta khawatir akan keselamatannya. Untuk itu para masyarakat cenderung pasraha ataupun senantiasa memberikan apa yang menjadi keinginan orang tersebut, seperti pada pengamen yang berpenampilan seperti itu para pengunjung mau tidak mau atau suka tidak suka akan suara yang disajikan oleh pengamen mereka akan merasa terpaksa memberikan upah demi menjaga keselamatannya.
Wacana kuasa simbolik menurut pandangan kritis sebagai pembentukan subjek, dan berbagai tindakan representasi yang terdapat dalam mayarakat. Teun A. Van Dijk, Fairclough dan Wodak (dalam Eriyanto. 2001: 8-13) mengkarakteristikkan analisis wacana kritis sebagai berikut:
- Tindakan. Pemahaman wacana sebagai tindakan itu sesuatu yang memiliki tujuan. Dan tindakan sebagai wacana yang dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar. Setiap tindakan objek itu merupakan representasi dan terdapat tujuan tertentu yang hendak dicapainya, sehingga subjek yang melihat tindakan ini mendekonstruksikan sebagai sesuatu yang wajar dan normalitas dalam kehidupan sosial.
- Konteks. Menurut Guy Cook bahwa analisa wacana juga memeriksa konteks dari komunikasi: siapa yang mengkonsumsikan dengan siapa dan mengapa. Konteks yang berpengaruh terhadap produksi wacana terdiri dari: Pertama, partisipan wacana, latar siapa yang memproduksi wacana. Kedua, setting sosial tertentu.
- Historis. Menjelaskan mengapa wacana berkembang dan dikembangkan dalam kehidupan sosial. Setiap simbol tentunya memiliki sejarah bagaimana terbentuknya dan bagaimana kita memaknai setiap simbol sebagai representasi jati diri penggunanya.
- Kekuasaan. Konsep kekuasaan adalah salah satu kunci hubungan antara wacana dan masyarakat. Hal ini penting karena berkaitan dengan kontrol. Kekuasaan simbol merupakan wacana yang telah mengontrol masyarakat dalam bertingkah laku sesuai dengan aturan dan normalitas yang ditetapkan.
- Ideologi. Teori-teori klasik mengatakan bahwa ideologi dibangun oleh kelompok yang dominan dengan ujuan untuk mereproduksi dan melegitimasi dominasi mereka. Implikasi ideologi antara lain: Pertama ideologi secara inheren bersifat sosial. Kedua digunakan secara internal diantara anggota kelompok atau komunitas.
Dalam menganalisa wacana kuasa simbol kita perlu melihat bagaimana simbol ini memproduksi opini dan bagaimana reproduksi itu dibuat oleh kelompok pengamen dalam struktur sosial. Sehingga dibutuhkan dekonstruksi dalam menganalisa makna simbol yang memiliki kekuasaan digunakan oleh pengamen tersebut dalam memenuhi kepentingannya.
Ruang yang Menjanjikan Kehidupan
Pengamen adalah seseorang yang bekerja sebagai musisi jalanan dengan cara bernyanyi dengan peralatan seadanya yang seringkali kita temukan di pinggir-pinggir jalan raya, lesehan-lesehan, terminal-terminal bus, serta kendaraan umum dan tempat-tempat favorit untuk melepaskan kepenatan/refreshing. Termasuk tempat nongkrong di ujung malioboro tepatnya di km 0, pengamen sangat mudah untuk kita temukan. Dengan menggunakan peralatan seadanya dan sederhana berupa: Gitar, gendang, gendir, kabasa dan kencrung merupakan alat yang seringkali digunakan oleh para pengamen ini, sambil menyanyikan lagu
[4] mencoba untuk menarik perhatian pengunjung untuk memberikannya upah. Untuk meminta saweran dari pengunjung mereka menggunakan tas dagadu atau tas jinjing dan tas plastik.
Aksi mengamen mereka dilakukan secara berkelompok mulai dari tiga sampai dengan enam orang. Saat beraksi mereka memainkan alat musik sesuai dengan bidang mereka masing-masing sambil bernyanyi namun terkadang cuma satu orang saja yang menyanyi karena kebanyakan tidak tahu lirik lagunya makanya semuanya cuma diam dan hanya satu orang saja yang bernyanyi, di samping itu mbak Biah berrperan sebagai MC
[5].
Penghasilan mereka ketika ujung Malioboro rame pengunjung itu ± Rp 50.000,- namun ketika sepi pengunjung itu pengahsilan mereka ± Rp. 20.000,-. Penghasilan ini mereka bagi rata kemudian digunakan untuk memenuhi kebutuhan mereka, selain itu ada hal yang menarik dari pengakuan Mas Adit bahwa:
“200 perak ini mas sangat berrarti bagi kami meski orang lain menganggapnya remeh tapi uang ini sangat kami butuhkan. Selain itu hasil mengamen kami ini meski tidak seberapa tetapi digunakan untuk membantu teman kami yang lagi kesusahan atau yang sedang sakit. Seperti yang terjadi saat ini ada teman kami yang sakit diare dan dirawat di puskesmas X, karena dia tidak punya keluarga disini maka kami bertanggung jawab untuk membantu dan meringankan bebannya”.
Sikap solidaritas yang tinggi ditunjukkan oleh kelompok pengamen ini. Meski usia dan latar belakang mereka berbeda-beda. Latar belakang yang berbeda-beda disebabkan karena pengamen ini bukan orang asli Yogyakarta melainkan pendatang dari berbagi wilayah, ada yang berasal dari Solo, Surabaya, Sumutera Selatan, Ambon, Makassar dan sebagainya.
Ujung malioboro tepatnya km 0 merupakan tempat nongkrong yang banyak dikunjungi oleh orang-orang untuk melepaskan penat serta refreshing. Hal inilah yang menjadikan tempat ini sebagai salah satu titik para pengamen mencari nafkah. Menjadi pengamen merupakan pilihan bagi sebagian orang yang tidak punya pilihan lain karena tidak memiliki keterampilan khusus ataupun ijazah sebagai bukti legal dan jembatan untuk mendapatkan pekerjaan, selain itu berbagai masalah kehidupan memilih jalanan sebagai tempat pelarian yang nyaman buat mereka dan menjadi pengemis merupakan pekerjaan yang nyaman buat mereka. Seperti pengakuan mbak Dora:
“Aku turun ke jalanan ngamen itu karena ada masalah keluarga, aku cerai dengan suami dan punya dua anak yang menjadi tanggung jawab aku. Awalnya sih cuma nongkrong dan cuma untuk buang masalah doank tapi keenakan terus, dan di sisi lain saya harus bekerja untuk menghidupi kedua anak saya, jadi saya memilih ngamen sebagai pekerjaan saya”.
Pernyataan mbak Dora sebagai salah satu alasan pengamen merupakan pekerjaan alternatif untuk mendapatkan uang secara instan. Selain faktor yang berpengaruh akan hadirnya pengamen dan anak jalanan tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Yogyakarta sebagai kota besar. Fenomena menjamurkan pengamen merupakan hal yang lumrah di setiap sudut kota besar di mana saja. Semakin cepatperkembangan sebuah kota semakin cepat pula peningkatan jumlah pengamen. Kehidupan di kota-kota besar yang tampak serba gemerlap dengan pernik-pernik kebebasannya ibarat sinar lampu yang mengundang angan-angan bagi para pengamen yang suka akan kehidupan yang bebas. Alasan ekonomi selalu menjadi prioritas untuk diungkapkan jika ditanya apa sebab pengamen melakukan pekerjaan itu.
Di sisi lain suasana kehidupan rumah tangga para anak-anak pengamen tersebut merupakan salah satu faktor pendorong penting. Banyak pengamen yang berasal dari keluarga yang diwarnai dengan ketidakharmonisan, baik itu perceraian, percekcokan, hadirnya ayah atau ibu tiri, absennya orang tua baik karena meninggal dunia maupun tidak bisa menjalankan fungsinya. Hal ini kadang semakin diperparah oleh hadirnya kekerasan fisik atau emosional terhadap anak. Keadaan rumah tangga yang demikian sangat potensial untuk mendorong anak lari meninggalkan rumah. Faktor lain yang semakin menjadi alasan anak untuk lari adalah faktor ekonomi rumah tangga. Dengan adanya krisis ekonomi yang melanda Indonesia, semakin banyak keluarga miskin yang semakin terpinggirkan. Situasi itu memaksa setiap anggota keluarga untuk paling tidak bisa menghidupi diri sendiri. Dalam keadaan seperti ini,sangatlah mudah bagi anak untuk terjerumus ke jalan untuk mencari pelarian yang sesuai dengan hati mereka.
Mengamen merupakan alternatif pekerjaan yang sangat mudah diakses para anak jalanan atau setiap orang yang ingin mendapatkan pekerjaan secara instan serta nyaman, selain itu pekerjaan lainnya pun membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan uang. Contohnya saja PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang bekerja tiap hari tetapi cuma tiap bulan mereka mendapatkan gaji, itu artinya mereka harus bekerja selama satu bulan dengan penuh kesabaran untuk menanti gaji bulanan. Berbeda dengan pengamen ibaratnya dia bekerja detik itu maka detik kemudian pengamen pun langsung mendapatkan uang meski hanya Rp 5.000,- tetapi mereka langsung mendapatkan hasil tanpa harus menunggu waktu yang lama. Meski penghasilannya sedikit tetapi dapat memuaskan hati mereka, serta menganggap bahwa kerja mereka mendapatkan penghargaan melalui upah yang didapatkan saat itu juga. Selain itu dalam dunia kerja mereka juga tidak memiliki basic ataupun skill dalam mendapatkan pekerjaan formal di perkantoran atau instansi-instansi pemerintah. Selain ketiadaan modal pendidikan yang mereka miliki, persaingan yang keras juga mempengaruhi orang untuk memilih menjadi pengamen, seperti yang terjadi pada mas Adit alumni mahasiswa kampus ISI (Institut Seni Indonesia) jurusan Kriya Logam meski memiliki keterampilan membuat aksesoris berupa gelang, kalung, cincin dan lainnya tetapi dia tidak mampu bersabar dalam menghadapi persaingan dunia bisnis. Menurutnya saat ini dia bekerja membuat aksesoris belum dijamin langsung mendapatkan uang, butuh waktu dan kesabaran untuk berusaha menarik perhatian para pembeli untuk membeli barang dagangannya.
Selain kelompok mas Adit dan mbak Dora yang mengais rezeky di ujung Malioboro terdapat kelompok pengamen lainnya yang berkompetisi dengan mereka. Untuk itu Ujung Malioboro ini merupakan arena atau field bagi kelompok pengamen. Konsep field diperkenalkan oleh Bourdieu yang berarti sebuah tempat atau arena sosial dimana orang berlomba-lomba menyusun berbagai strategi dan berjuang untuk mendapatkan sumber daya yang diinginkannya berupa wujud kekuasaan yang legitimasi. Lebih lanjut Bourdieu menjelaskan tiga langkah dalam proses menganalisis suatu medan. Pertama mencerminkan keunggulan medan kekuasaan ialah melacak hubungan setiap medan spesifik ke medan politis. Kedua memetakan struktur objektif relasi-relasi antar posisi-posisi yang ada di dalam medan itu. Ketiga menentukan hakikat habitus para agen yang menduduki aneka tipe posisi di dalam medan itu.
Ujung Malioboro sebagai field tercermin adanya berbagai kepentingan yang terjadi akibat relasi-relasi sosial yang ada. Mulai dari kepentingan pengunjung untuk refreshing atau melepaskan penat dan berbagai masalah mereka, para pedagang asongan atau pedagang keliling yang berusaha menjajakan dagangannya untuk mengais rezeky, serta para pengamen yang saling berkompetisi satu sama lain untuk menjajakan suara demi mendapatkan upah dari para pengunjung.
Adapun teknik para pengamen yang berbeda kelompok tapi satu kepentingan yakni mereka bergiliran dalam mengamen, sehingga tidak ada kelompok yang merasa di diskriminasi atau tidak ada kelompok yang memonopoli arena ini sebagai bentuk saling menghargai dan menghormati sesama pengamen. Mereka start dari arah selatan lampu merah km 0 kemudian menuju kawasan Museum Benteng Vredeburg. Kelompok ini saling bergantian dengan kelompok pengamen lainnya sehingga harapan mereka pengunjung pun merasa tidak terganggu dan tetap nyaman nongkrong di kawasan Museum Benteng Vredeburg. Meski pengakuan pengamen ini mencoba untuk menjaga kenyamana pengunjung tetapi di sisi lain perspektif pengunjung berbeda seperti yang diutarakan oleh mbak Nina sebagai salah satu pengunjung kawasan Museum Benteng Vredeburg ini menyatakan bahwa:
“Kehadiran pengamen ini sangat mengganggu bagi aku tohh mbak, gimana nggak baru semenit duduk pengamennya udah datang silih berganti. Nggak dikasi juga merasa nggak enak hati ngelihat penampilan mereka dan aku wess ngerti pekerjaan mereka sebagai pengamen pasti mengharapkan imbalan serta tumpuan hidupnya ada pada para pengunjung. Padahal aku kesini tuh pengen melepaskan berbagai masalah aku bukan untuk diganggu oleh kehadiran para pengamen tersebut”.
Keberadaan pengamen dianggap bukan untuk menghibur, namun banyak dikeluhkan masyarakat pendatang. Pernyataan Mudin salah satu dari warga pendatang yang berasal dari Imogiri,Bantul mempertegas pernyataan sebelumnya dengan mengatakan:
“Malioboro tak ubahnya rumah bagi para pengamen.Berbagai jenis pengamen ada,bahkan, ada juga yang mencari saweran dengan menjual jasa foto bareng. “Komplet,lha wes ora kangelan hasile(Sudah tidak susah dapat hasil) lumayan, kadang do turu neng kene mas (Terkada mereka pada tidur di sini),”katanya ditemui di sekitar kawasan Museum Benteng Vredeburg kemarin. Pria yang kesehariannya bekerja sebagai penjual asongan itu mengakui, keberadaan pengamen termasuk juga pengemis di sekitar Malioboro makin lama semakin bertambah.Saat musim liburan tiba,dapat dipastikan dari luar daerah pun banyak yang berdatangan”.
Pernyataan di atas merupakan sesuatu yang kontradiktif antara kepentingan serta harapan pengamen dengan pengunjung, di mana pengamen yang menganggap dirinya sebagai aktor/pelaku yang berusaha untuk menghibur para pengunjung, tetapi di sisi lain pengunjung justru merasa kehadiran pengamen yang silih berganti ini mengganggu privatisasinya.
Pengamen termasuk salah satu kelompok pinggiran yang tidak bisa dilihat hanya dari bagaimana mereka mempertahankan hidup, tapi juga bagaimana perkembangan kota selalu mempengaruhi kehidupannya. Mereka juga mampu membuka mata mengenai peran kontribusinya yang setiap saat selalu ditutup-tutupi oleh wacana kota yang “bersih, indah dan nyaman”. Banyaknya pengamen yang menjadikan ujung Malioboro atau kawasan Museum Benteng Vredeburg sebagai sumber kehidupan telah menjadi penghias tempat ini.
Dengan tetap memberi mereka recehan uang, mereka akan terus bergerilya di ujung Malioboro atau kawasan Museum Benteng Vredeburg karena merasa sangat mudah mencari uang tanpa perlu kerja keras. Seharusnya tugas negaralah untuk mengentaskan mereka dari kepapaan hidup, karena di dalam UUD 1945 disebutkan bahwa “anak yatim dan orang-orang terlantar dipelihara oleh negara”. Berbagai upaya pemerintah untuk membersihkan kota Yogyakarta dari para anak jalanan, pengemis dan pengamen mulai dari mengadakan seminar rancangan Perda (Peraturan Daerah) tentang Anak, jalanan, pengemis dan pengamin hingga sosialisasi yang menyentuh kehidupan mereka. Tetapi ketika rancangan Perda ini hendak disahkan para pengamen akan bersatu untuk melakukan demo penolakan rancangan Perda tersebut. seperti yang dipaparan oleh mas Adit tentang rancangan Perda tersebut yakni:
“Pernah sihhh mbak ada rancangan Perda Yogyakarta katanya isi Perda tersebut mengatakan bahwa Yogyakarta ini mau dibersihkan dari pengamen, pengemis dan anak jalanan. Tetapi belum disahkan karena ditentang dari LSM karena ada poin yang mematikan ekspresi dan kreatifitas anak jalanan. Adapun LSM yang mengadvokasi anak jalanan pengamen adalah LSM sebumi dulunya mengadvokasi para pengamen ketika terdapat Perda yang tidak disetujui oleh para pengamen. Mereka melakukan aksi dan demo yang berasal dari para pengamen se-Yogyakarta. Menurut aku kalo memang pemerintah ingin merazia atau menghilangkan para pengamen, pemerintah harus memberikan modal keterampilan, karena pernah ada seminar menyatakan bahwa ada dana untuk para pengamen. Namun hingga saat ini dana untuk keterampilan bagi anak jalanan, pengemis dan pengamen itu belum terealisasikan”.
Demo yang dilakukan oleh para pengamen ini menunjukkan sikap pertahanan mereka untuk memperjuangkan hak hidup mereka di jalanan, tempat-tempat umum, serta kendaran umum sebagai ruang sumber kehidupan. Mengamen merupakan pekerjaan instan dan nyaman untuk dilakukan bagi anak jalanan serta bagi orang-orang yang sedang menghadapi berbagai masalah kehidupan mulai dari ekonomi, keluarga, lingkungan dan secara psikologi ingin terbebasa dari berbagai aturan yang mengikat.
Kesimpulan
Citra kriminalitas telah melekat pada pengamen seiring dengan pemberitaan media terkait kasus kekerasan yang dilakukan oleh pengamen. Selain pemberitaan yang membentuk wacana di masyarakat, pengamen secara sadar senantiasa menggunakan instrument berupa simbol pakaian yang amburadul, rambut gondrong, aksesoris yang menyeramkan serta tattoo di tubuh mereka seringkali dimaknai ‘premanisme’ oleh masyarakat.
Hal itu dikarenakan sejarah Indonesia di masa orde baru mencatat adanya peristiwa Penembakan Misterius (Petrus) yang dilakukan ole orang-orang bertatto, sehingga orang-orang bertatto ini merupakan musuh Negara yang mengancam keamanan dan kestabilitas Negara. Untuk itu orang-orang yang bertatto sering didiskriminasi dan dianggap sebagai preman yang menciptakan ketidakamanan bagi masyarakat. Wacana tentang orang yang bertatto, rambut gondrong dan berpakaian amburadul dimaknai ‘premanisme’ ini bertahan di masyarakat, sehingga setiap orang bertemu dengan pengamen yang berpenampilan seperti ini akan menimbulkan perasaan yang was-was dan khawatir akan keselamatannya.
Meski pada perkembangannya saat ini paradigma berpikir masyarakat mulai berubah yang menganggap bahwa tattoo itu adalah seni dan memiliki makna tertentu serta mampu memberikan semangat baru bagi para penggunanya, tapi paradigma tersebut belum diterima secara umum oleh masyarakat.
Pakaian yang digunakan oleh pengamen ini telah menghegemoni para pengunjung ujung Malioboro atau kawasan Museum Benteng Vredeburg yang sedang nongkrong atau refreshing senantiasa memberikan upah kepada pengamen dengan perasaan was-wasan dan khawatir akan keselamatan mereka ketika tidak memberikan upah bagi pengamen ini.
Meski di sisi lain pengamen menganggap bahwa pakaian yang dikenakan tidak bermaksud apa-apa karena secara ekonomi mereka tidak mampu membeli pakaian layak pakai dan mewah, selain itu penampilan mereka apa adanya sebagai bentuk kebebasan serta kreatifitas mereka. Pengamen ini juga menganggap bahwa mereka telah bernyanyi dan menghibur pengujung jadi wajar ketika mereka meminta saweran atau upah dari pengunjung sebagai haknya mereka.
***
Daftar Pustaka
Agger, Ben, 2003, Teori Sosial kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya, Yogyakarta, Kreasi Wacana.
Danesi, Marcel, 2004, Pesan, Tanda dan Makna: Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi, Yogyakarta, Jalasutra.
F.W Dillistone, F.W, 2002,
Daya Kekuatan Simbol (The Power of Symbols), Yogyakarta, Kanisius
Eriyanto, 2001, Analisis Wacana, Yogyakarta, LKiS.
Foucault, Michel, 2007, Order Of Thing “Arkeologi Ilmu-ilmu Kemanusiaan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Foucault, Michel, 2011, Pengetahuan dan Metode: Karya-karya Penting Michel Foucault, Yogyakarta, Jalasutra.
Foucault, Michel, 2012, Arkeologi Pengetahuan , Yogyakarta, IRCiSoD.
Haryatmoko, 2010, Dominasi Penuh Muslihat: Akar Kekerasan dan Diskriminasi, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.
Jenkins, Richard, 2004, Membaca Pikiran Pierre Bourdieu, Yogyakarta, Kreasi Wacana.
Jones, PIP, 2003, Pengantar Teori-teori Sosial-Dari Teori Fungsionalisme hingga Post-modernisme, Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Latif, Yudi dan Idi Subandy Ibrahim, 1996, Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru, Bandung , Mizan.
Mahfud, Choirul, 2009, 39 Tokoh Sosiologi Politik Dunia, Surabaya, Jaring Pena.
Marsh, David & Gerry Stoker, 2002, Theory and Method in Political Science, New York, Palgrave MacMillan.
Piliang, Yasraf Amir, 2005, Transpolitika “Dinamika Politik di Dalam Era Virtualitas”, Yogyakarta, Jalasutra.
Ritzer, George, 2011, Teori Sosilogi “Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern”, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto, 2005, Teori-teori Kebudayaan, Yogyakarta, Kansius.
Media Internet
http://id.wikipedia.org/wiki/Pengamen. Diakses pada tanggal 13 Januari 2013.
http://jogja.tribunnews.com.29/12/2012. Diakses pada tanggal 30 Desember 2012.
Hasil Wawancara
Wawancara dengan mas Adit pada tanggal 23-25 Desember 2012 di ujung Malioboro atau kawasan Museum Benteng Vredeburg.
Wawancara dengan mas Mudin pada tanggal 23 Desember 2012 di ujung Malioboro atau kawasan Museum Benteng Vredeburg.
Wawancara dengan mbak Dora pada tanggal 22-24 Desember 2012 di ujung Malioboro atau kawasan Museum Benteng Vredeburg.
Wawancara dengan mbak Nina pada tanggal 24 Desember 2012 di ujung Malioboro atau kawasan Museum Benteng Vredeburg.
--------------
[1] David Marsh & Gerry Stoker, 2002, Theory and Method in Political Science, New York, Palgrave MacMillan. (terjemahan). Hlm: 239.
[2] Pengamen atau sering disebut pula sebagai penyanyi jalanan (Inggris: street singers), sementara musik-musik yang dimainkan umumnya disebut sebagai Musik Jalanan. Pengertian antara musik jalanan dengan penyanyi jalanan secara terminologi tidaklah sederhana, karena musik jalanan dan penyanyi jalanan masing-masing mempunyai disiplin dan pengertian yang spesifik bahkan dapat dikatakan suatu bentuk dari sebuah warna musik yang berkembang di dunia kesenian. Perkembangan pengamen telah ada sejak abad pertengahan terutama di Eropa bahkan di kota lama London terdapat jalan bersejarah bagi pengamen yang berada di Islington, London, pada saat itu musik di Eropa berkembang sejalan dengan penyebaran musik keagamaan yang kemudian dalam perkembangannya beberapa pengamen merupakan sebagai salah-satu landasan kebudayaan yang berpengaruh dalam kehidupan umat manusia. (http://id.wikipedia.org/wiki/Pengamen. Diakses pada tanggal 13 Januari 2013).
[3] Michel Foucault, 2011, Pengetahuan dan Metode: Karya-karya Penting Michel Foucault. Hlm:9.
[4] Meski cara bernyanyi mereka tidak bagus dan justru asal-asalan dan hal ini tentunya dapat mengganggu kenyamanan para pengunjung.
[5] Orang yang berperan untuk meminta saweran kepada pengunjung. Karena dia tidak memiliki skill untuk bernayanyi maka dari itu dia ditugaskan untuk menjadi MC.
* Tulisan ini digarap pada tahun 2013.
No comments: