Oleh
Mino AS
Fenomena “kelas menengah” yang seringkali digunakan para pengkritik gerakan Buruh dalam mendeskreditkan gerakan-gerakan sosial Buruh. Seolah menunjukan kontradiksi yang sama sekali sangat ambigu antara tuntutan Buruh akan kenaikan upah dengan femomena kelas menengah Buruh dengan beberapa contoh kasus seperti Buruh dengan kendaraan mewah ataupun dengan kondisi kehidupan yang mewah. Kondisi ini kemudian di generalisasi oleh Publik sebagai suatu kondisi yang telah lazim terjadi dibeberapa tempat, Namun penggunaaan kata “ Kelas Menengah “ sendiri adalah keliru dalam memahami relasi kelas yang terjadi antara Pemilik Capital dengan Buruh.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjHULD06QqLIzczHnNnacHDKRWVX3Z-B0aJ649ZJ-RbmG8mc0CfYl7RUAjMTmJFjHNRh82Pd5o0W_tCQ-vvK3Ts3s2tQT3SwivLgJIPSd9YV98TUEmT_JpAm9VoNTL2j0ANpMT46np2EAOq/s320/Demo-Buruh-Batam-09112015-mnk-4.jpg) |
|
Kelas Menengah yang seringkali diperdebatkan secara klasik merupakan istilah yang sebenarnya telah di kemukakan oleh E.O Wright, Secara eksplesit Wright memberi istilah kelas menengah sebagai Contradictory Class Position. Meskipun dikalangan Marxian juga telah memperdebatkan pendapat Wright yang sebagian menerima dan sebagain menolak sebagai analisis yang abstrak.
Dalam memahami analisis kelas kita perlu melihat dua pengertian, Pertama kelas merujuk pada defenisi position dan Kedua kelas menunjukan pengertian pada relasi. Kelas pada position adalah istilah kelas yang seringkali digunakan untuk menggambarkan kondisi masyarakat dengan rujukan utamanya adalah income. Defenisi ini juga sering digunakan oleh Bank Dunia dalam mendeskripsikan suatu masyarakat. Kelas yang menitik beratkan pada position lebih menekankan pada pendekatan material. Kedudukan dan posisi masyarakat ditentukan oleh faktor material yang melekat pada dirinya. Implikasi ketika kelas didefenisikan sebagai position berdampak pada pembagian kelas dengan basis material yang akan menghasilkan kelas menengah seperti yang seringkali kita temui khususnya di "Negara Pinggiran" seperti Indonesia, selain itu implikasi politik akan berdampak pada gerakan intervensi yang hanya sebatas melihat tindakan sosial sebagai tindakan yang menekan secara material.
Sementara defenisi kelas sebagai relasi adalah hubungan kelas yang menunjukan hubungan yang kontradiktif. Kelas dengan pengertian relasi merujuk pada pola yang antagonis dimana masyarakat di posisikan sebagai kelompok yang akan selalu berkonflik dengan kelompok yang lain. Namun dalam kerangka ini konflik yang dimaksud adalah konflik antara pemilik modal dengan Buruh. Kelas sebagai relasi hanya menempatkan dua strata antara Pemilik Kapital dengan Buruh tanpa mengenal kelas menengah. Namun tidak mungkin bahwa relasi ini akan bergeser berdasarkan dengan konteks sosial dan kondisi yang mendasari terjadinya konflik antara Pemilik Kapital dengan Buruh. Implikasi politiknya adalah pada perjuangan kelas (Class Struggle).
Memahami kerangka Marxis sebagai alat analisis juga tidak serta merta menempatkan kelas secara murni dalam pengertian relasi, tidak juga hanya memahami kelas sebagai position. Namun untuk menempatkan analisis ini harusnya kolaborasi antara defenisi kelas sebagai position dan kelas sebagai relasi. Kelas sebagai position digunakan sebagai fase awal untuk melihat kelas sebagai relasi. Antara keduanya tidak bisa dipisahkan, juga keliru ketika memulai analisis kelas tanpa melihat position secara struktural. Yang terpenting dalam memahami kelas Marxis adalah kelas yang hanya terbentuk ketika terjadi “ konflik” antara Pemilik Kapital dan Para Pekerja.
Sabtu, 20 Februari 2016
***
No comments: