Negara merupakan akumulasi atau perwujudan dari cita-cita bersama rakyatnya yang memiliki latar belakang dan kesamaan nasib. Negara memiliki tujuan akhir untuk membahagiakan rakyatnya dan mengangkat setinggi-tingginya martabat bangsa dan negaranya.
Indonesia sebagai negara yang berdaulat memiliki cita-cita atau tujuan luhur yang termaktub dalam mukadimah Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “ Untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamainan abadi dan keadilan sosial dengan berdasarkan kepada: ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab bagi seluruh rakyat Indonesia, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi kesulur rakyat Indonesia.
Menurut Roger H. Soltau, tujuan negara adalah memungkinkan rakyatnya berkembang serta menyelenggarakan daya ciptanya sebebas mungkin. Sedangkan Harold J. Laski berpendapat bahwa tujuan negara adalah menciptakan keadaan dimana rakyat dapat mencapai keinginan-keinginan mereka secara maksimal (Huda,2010, h. 54-55). Sementara itu, Prof. Abu Daud Busroh berpendapat bahwa tujuan negara adalah menyelenggarakan kesejahteraan dan kebahagiaan rakyatnya demi tercapainya masyarakat adil dan makmur (Busroh, 2009, h. 50).
Sayid Muhammad Baqir Ash Shadr memiliki pendapat tersendiri tentang tujuan negara sebab beliau melihat dari perspektif Islam. Menurutnya, tujuan negara adalah mendeklarasikan Allah sebagai tujuan akhir. Sebagaimana dikatakan: Pada hakikatnya, satu-satunya tujuan yang memberikan gairah, kehangatan, dan cahaya abadi kepada eksistensi manusia serta menjamin kamajuan budayanya adalah memperoleh sesuatu yang bisa dijadikan medium dalam melanjutkan setiap upaya yang dilakukan....Pemerintah Islam memiliki peran yang sangat penting. Yakni mendeklarasikan Allah sebagai tujuan dan terminal akhir kafilah kemanusiaan, yang di dalamnya watak-watak Ilahiah menjadi rambu-rambu perjalanan....(Ash Shadar, 2009, h. 13)
2. Fungsi Negara
Negara sebagai penyelenggara atau alat bagi sekolompok manusia yang memiliki cita-cita dan tujuan bersama yang ingin dicapainya merupakan keharusan mutlak untuk dipenuhi oleh negara dimana pemerintah sebagai alat kelengkapannya. Untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkannya, negara harus berfungsi dan mampu menggiring masyarakatnya menuju apa yang dicita-citakannya.
Menurut Budiardjo (2009, h. 55-56), negara sebagai organisasi dalam suatu wilayah yang memiliki kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya memiliki fungsi, minimum sebagai berikut:
- Melaksanakan penertiban (law and order). Dalam usaha-usaha pencapaian tujuan bersama dan mencegah konflik dalam masyarakat, maka negara harus melaksanakan penertiban.
- Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Artinya bahwa, negara dalam pencapaian tujuan bersama harus menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya, setidak-tidaknya meminimalisir kesenjangan sosial secara berkesinambungan agar tujuan negara dapat tercapai.
- Pertahanan. Hal ini diperlukan untuk menjaga kemungkinan gangguan atau serangan dari luar, karena tanpa pertahanan sangat dimungkinkan amburadulnya usaha-usaha pencapaian tujuan daripada negara. Dengan demikian maka negara harus dipertahankan dengan segenap kekuatan atau dengan alutista.
- Menegakkan keadilan. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi diskriminasi diantara penduduk yang dapat menimbulkan benih-benih permusuhan dan kekacauan yang pada akhirnya dapat menyebabkan terganggunya kestabilan nasional.
Menurut ajaran Islam, tujuan negara adalah terlaksananya ajaran-ajaram Alquran dan Sunnah Rasulullah saw. Dalam kehidupan masyarakat, menuju tercapainya kesejahteraanhidup di dunia, materiil dan spiritual, perseorangan dan kelompok serta mengantarkan kepada tercapainya kebahagiaan hidup di akhirat (Huda, 2010, h. 58).
Bentuk-Bentuk Negara
1. Bentuk Negara Zaman Yunani Kuno.
Plato (Huda, 2010, h. 27-28) mengemukakan lima macam bentuk negara yang sesuai dengan sifat tertentu dari jiwa manusia, yaitu:
- Aristokrasi, dimana pemerintahan dipegang oleh aristokrat atau cendekiawan dan dijalankan sesuai pikiran keadilan.
- Timokrasi, yaitu pemerintahan yang dijalankan oleh orang-orang yang ingin mencapai kemasyhuran dan kehormatan.
- Oligarchi, yaitu pemerintahan yang dijalankan oleh orang-orang yang memiliki harta atau seorang hartawan.
- Demokrasi, yaitu pemerintahan yang dijalankan oleh rakyat miskin.
- Tirani, yaitu pemerintahan yang dijalankan oleh seorang penguasayang sewenang-wenang.
2. Bentuk Negara Masa Sekarang
Bentuk negara dalam konsep teori modern terdiri dari dua bentuk, yakni: negara kesatuan dan negara federasi (Huda, 2010; Ubaedillah dan Rozak, 2008; Iddris, dkk., 2009) .
Negara Kesatuan, yaitu pemerintah pusat menjalankan kedaulatan tertingggi negara dan unit-unit pemerintahannya yang berada dibawahnya harus tunduk kepada pemerintah pusat. Namun dalam pelaksanaannya, negara kesatuan ini terbagi ke dalam dua macam sistem pemerintahan, yakni: sentralisasi dan desentralisai.
Sentralisasi merupakan sistem pemerintahan yang langsung dipimpin oleh pemerintahan pusat, sementara pemerintah daerah di bawahnya hanya menjalankan keputusan pemerintah pusat. Sedangkan desentralisasi merupakan sistem pemerintahan dimana kepala daerah diberikan kesempatan dan kewenangan untuk mengurus urusan pemerintah di wilayahnya sendiri.
Negara Federasi, yaitu kumpulan negara-negara merdeka atau wilayah-wilayah yang independen yang sepakat menggabungkan diri kedalam federal dan dengan sendirinya menjadi negara bagian.
Di samping kedua bentuk diatas, dari sisi pelaksanaan dan orang yang memerintah dalam sebuah negara, maka bentuk negara dapat dibagi ke dalam tiga kelompok, yakni: Monarki, Oligarki dan Demokrasi.
Monarki. negara monarki adalah bentuk negara yang dikepalai oleh seorang raja atau ratu. Pemerintahan monarki terdiri atas dua jenis, yakni: a). monarki absolut adalah model pemerintahan dengan kekuasaan tertinggi di tangan raja atau ratu; b). monarki kosntitusional adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaan kepala pemerintahannya dibatasi oleh ketentuan-ketentuan undang-undang negara. Model ini, kepala negara seperti raja atau ratu sebatas sebagai simbol negara.
Oligarki. negara oligarki adalah negara dimana pemerintahan hanya dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu. Model negara oligarki ini biasanya diperintah dari kelompok yang berasal dari kalangan feodal.
Demokrasi. Negara demokrasi merupakan negara yang pimpinan tertinggi negara terletak di tangan rakyat. Artinya bahwa rakyat yang berdaulat untuk menjalankan pemerintahan melalui kehendak rakyat lewat mekanisme pemilihan umum.
Negara dalam Perspektif Politik Islam
Setelah Nabi Muhammad saw. hijrah ke Madinah pada tahun 622 Masehi, beberapa pakar Islam menganggap bahwa disinilah negara Islam pertama yang didirikan oleh Rasulullah saw (Jafri, 2003, h. 27). Disisi lain ada juga beberapa pakar berbeda pandangan atas ada tidaknya negara Islam.
Seorang pemikir Islam yang dianggap mula-mula menggagas konsep negara Islam secara komprehensif adalah Jamalaluddin al-Afghani (1838-1897 M). Menurut Moeslim Abdurrahman (2005, h. 69), paling tidak ada dua hal yang mendorong pemikirannya:
Pertama, ia melihat betapa lemahnya ummat Islam dan para penguasanya menghadapi imperialisme Barat, sehingga perlu dibangkitkan gerakan Pan-Islamisme untuk menyatukan kekuatan politik ummat Islam. Kedua, gerakan semacam itu, tidak mungkin lahir tanpa ummat Islam merumuskan kembali Islam sebagai ideologi, nilai peradaban, dan identitas kebudayaannya sendiri menghadapi tantangan modernitas Barat.
Persoalan politik Islam tidak bisa dilepaskan dari sejarah Islam yang multi Interpretatif. Pada satu sisi, hampir setiap orang Islam percaya terhadap pentingnya prinsip – prinsip Islam dalam kehidupan politik, sementara pada sisi yang lain, karena sifat islam yang multi interpretatif tersebut, tidak ada pandangan yang monolitik mengenai bagaimana seharusnya Islam dan politik diposisikan secara tepat, yang muncul dari persoalan tersebut justru pendapat yang sangat beragam. Beberapa Intelektual muslim seperti Jamaludin al-Afgani (1838 – 1897 M), Muhammad Abduh (1862 – 1896 M), Rasyid Ridha (1865 – 1883 M), Ali Abdul Razik (1888 – 1966 M), Al Mawardi (975 – 1059 M), Ibn Taimiyah (1262 – 1328 M), Al Maududi (975 – 1059 M), dan Al Farabi (870 – 950 M) telah berusahan untuk memberikan pandangannya terhadap persoalan diatas dari perspektif masing – masing.
Teori – teori tersebut secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga paradigma mengenai konsepsi negara dalam Islam :
1. Paradigma Integratif
Aliran ini berpendapat bahwa Islam bukanlah semata-mata agama sebagaimana yang ditafsirkan oleh Barat, dimana hanya sekedar mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan. Islam dalam menurut aliran ini berpendapat bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan berpolitik dan bernegara. Oleh karena itu dalam bernegara umat Islam hendaknya kembali kepada sistem ketatanegaraan Islam dan tidak perlu meniru sistem ketatanegaran Barat. Adapun sistem ketatanegaraan politik Islam yang harus diteladani adalah sistem yang dilaksanakan oleh Nabi Muhammad dan empat Khulafaur Rasyidin (Sjadzali, 1990, h. 1).
Dalam perspektif paradigma integralistik kepala negara adalah pemegang kekuasaan agama dan politik. Pemerintahan dilaksanakan atas dasar kedaulatan Ilahi, karena pendukung ini meyakini bahwa kedaulatan berasal dan berada “ditangan Tuhan”, dengan demikian pemberlakuan dan penerapan hukum Islam sebagai hukum positif negara, sebagaimana dekemukakan oleh Imam Khomaeni: “Dalam negara Islam wewenang menetapkan hukum berada pada Tuhan, tiada seorangpun berhak menetapkan hukum dan yang boleh berlaku hanyalah hukum dari Tuhan” (Wahid, dkk., 2001, h. 24).
Paradigma inilah yang kemudian melahirkan paham negara agama, dimana kehidupan keagamaan diatur dengan menggunakan prinsip – prinsip keagamaan, sehingga melahirkan konsep Islam agama dan negara. Sumber hukum positifnya adalah hukum agama, masyarakat tidak bisa membedakan mana aturan negara dan mana aturan agama karena keduanya menyatu. Oleh karena itu dalam paham ini rakyat yang menaati segala ketentuan negara berati ia taat kepada agama, sebaliknya melawan negara berarti melawan agama yang berarti juga menentang Tuhan (Wahid, dkk., 2001, h. 25).
2. Paradigma Simbiotik
Paradigma ini boleh dikata lebih moderat dimana berpendapat bahwa sekalipun dalam Islam atau Nash tidak terdapat sistem ketatanegaraan, akan tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan ketatanegaraan (Sjadzali, 1990, h. 2).
Lebih lanjut dikatakan bahwa agama dan negara memiliki hubungan yang bersifat timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini, agama memerlukan negara karena dengan negara, agama dapat berkembang, sebaliknya negara juga memerlukan agama karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral spiritual. Pemeliharaan agama dan pengaturan dunia merupakan dua jenis aktivitas yang berbeda, namun mempunyai hubungan secara simbiotik.
Dalam konsep ini, Syariah (hukum Islam) menempati posisi sentral sebagai sumber legitimasi terhadap realitas politik. Demikian juga negara mempunyai peranan yang besar untuk menegakkan hukum Islam. Dengan demikian tampak adanya kehendak untuk mewarnai hukum – hukum negara dengan hukum agama bahkan tidak menutup kemungkinan bahwa hukum agama dijadikan sebagai hukum negara. Hal ini bisa saja terjadi karena sifat simbiotik antara agama dan negara mempunyai tingkat dan kualitas yang berbeda – beda.
3. Paradigma Sekuler
Paradigma ini memisahkan antara agama dan negara sehingga negara tidak menjadikan agama sebagai instrumen tertentu. Dalam konteks Islam pandangan ini menolak intervensi Islam pada masalah politik dan kenegaran. Menurut pandangan ini Nabi Muhammad hanyalah seorang rasul biasa sebagaimana rasul-rasul terdahulu, dengan tugas hanya untuk mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang baik melalui perilaku dalam kehidupan sehari – hari. Nabi Muhammad menurut pendapat ini tidak pernah bertugas untuk mendirikan dan mengepalai suatu Negara (Sjadzali, 1990, h. 1).
Agama adalah urusan pribadi para pemeluknya yang tidak ada sangkut pautnya dengan negara. Dengan demikian sebuah negara dapat dikatakan sekuler jika negara tersebut tidak menjadikan kitab suci sebagai dasar konstitusi dan tidak menjadikan hukum agama sebagai hukum nasional, atas dasar tersebut semua agama memiliki peran yang sama dalam negara.
Referensi
Abdurrahman, Moeslim. Islam Yang Memihak, ed. Qamaruddin SF. Cet. I; Yogyakarta: LKiS, 2005.
Ash Shadar, Sayid Muhammad Baqir. Introduction to Islamic Political System. Terj. Arif Mulyadi, Sistem Politik Islam: Sebuah Pengantar. Cet. II; Jakarta: Penerbit Lentera, 2009.
Budiardjo, Miriam. Dasar – Dasar Ilmu Politik. edisi revisi. Cet. IV; Jakarta: Gramedia, 2009.
Budiman, Arief. Teori Negara: Negara, Kekuasaan dan Ideologi. Jakarta: 1996.
Busroh, Abu Daud. Ilmu Negara. Cet. VI; Jakarta: Bumi Aksara, 2009.
Huda, Ni’matul. Ilmu Negara. edisi 1. Cet. I; Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Iddris, Irfan, Hamdan Juhannis & Abd. Rasyid Masri. Buku Daras Ilmu Politik. Makassar: Alauddin Press, 2009.
Jafri, Syed Hussain Mohammad. Political and Moral Vision of Islam: As Explained by Ali B. Abi Thalib. Terj. Ilyas Hasan, Moralitas Politik Islam: Belajar dari Perilaku Politik Khalifah Ali bin Abi Thalib. Cet. I; Jakarta: Pustaka Zahra, 2003.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Cet. II. Jakarta: UI-Press, 1990.
Strong, C. F. Political Constitution: An Introduction to the Comparative Srudy of Their History and Exiting Form. Terj. SPA Teamwork, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia. Cet. II. Bandung: Nusa Media, 2008.
Ubaedillah, A. & Abdul Rozak. ed. Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. edisi tiga. Cet. III. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah bekerjasama Kencana, 2008.
Wahid, Marzuki & Ruimadi. Fiqh Madzab Negara. Yogyakarta : LKiS, 2001.
No comments: