Teori Kekuasaan 2

Dimensi Kekuasaan

Untuk memahami gejala kekuasaan politik secara tuntas, maka kekuasaan setidaknya ditinjau dari enam dimensi, yakni potensi dan aktual, positif dan negatif, konsensus dan paksaan, jabatan dan pribadi, implisit dan eksplisit, langsung dan tidak langsung (baca Surbakti, 2010, h.75; Andrain, 1992, h. 135 - 143).

Potensial dan Aktual

Seseorang dipandang mempunyai kekuasaan potensial apabila memiliki sumber-sumber kekuasaan, seperti kekayaan (ekonomi), senjata,pengetahuan dan informasi, popularitas, status sosial yang tinggi, massa yang terorganisir dan jabatan. Sementara seseorang dipandang memiliki kekuasaan aktual jika sumber-sumber kekuasaannya telah digunakan secara efektif untuk mencapai tujuannya. Jadi sepanjang sumber daya tidak digunakan, maka kekuasaan yang dimiliki masih bersifat potensial. 

Positif dan Negatif

Kekuasaan positif dimaksudkan sebagai penggunaan sumber-sumber kekuasaan untuk mencapai tujuan yang dianggap penting dan diharuskan. Sementara kekuasaan negatif adalah penggunaan sumber-sumber kekuasaan untuk mencegah pihak lain mencapai tujuannya yang dianggap merugikan pihaknya. Misalnya saja, seseorang presiden atau kepala daerah yang melakukan lobby politik dengan menggunakan sumber-sumber kekuasaan yang dimilikinya agar rancangan undang-undang atau perda dapat disetujui oleh pihak legislatif, maka inilah yang sebut sebagai kekuasaan positif. 

Namun fraksi-fraksi di legislatif yang menolak menyetujui rancangan tersebut dapat dipandang (dari kacamata presiden atau kepala daerah) sebagai kekuasaan negatif. Tapi dari sudut pandang fraksi dilegislatif yang menolak ini dapat juga dianggap sebagai kekuasaan positif karena menggunakan sumber-sumber kekuasaan yang dimilikinya untuk mencapai tujuannya. Karena itu, kekuasaan positif dan negatif sangat susah dipilah karena bergantung pada sudut pandang dan kepentingan yang menjalankannya. Perbedaan positif dan negatif hanya bisa dilakukan jika ada kesepakatan umum atau tolak ukur bersama yang jelas.

Konsensus dan Paksaan

Biasanya yang melihat aspek paksaan dalam kekuasaan akan cenderung melihat politik sebagai perjuangan,dominasi, pertentangan dan konflik. Maka konsekuensinya adalah memandang tujuan yang ingin dicapai oleh elit politik tidak menyangkut pada kemaslahatan masyarakat secara umum, tetapi hanya untuk kepentingan kelompok tertentu. Sebaliknya yang melihat dari aspek konsensus dalam kekuasaan akan cenderung melihat bahwa elit politik sedang berjuang untuk mencapai tujuan bersama masyarkat atau mencapai kebaikan bersama.

Untuk membedakan antara kekuasaan paksaan dan kekuasaan konsensus, setidaknya ada dua faktor, yakni; alasaan penaatan (pendisiplinan) dan sarana kekuasaan yang digunakan. Kekuasaan paksaan dalam memciptakan ketaan biasanya disertai dengan ancaman rasa takut, seperti rasa takut karena adanya paksaan fisik, kehilangan pekerjaan, dikucilkan, diintimidasi dan paksaan lainnya. Sementara kekuasaan konsensus ditaati karena adanya persetujuan secara sadar dari pihak yang dipengaruhi. Dari segi faktor sarana kekuasaan, kekuasaan paksaan menggunakan tiga sarana untuk menciptakan ketaatan, yakni sarana paksaan fisik, sarana ekonomi dan sarana psikologis. Sementara kekuasaan konsensus didalam menciptakan ketaan menggunakan sarana seperti nilai kebaikan bersama, moralitas dan ajaran agama.

Jabatan dan Pribadi

Dalam masyarakat yang sudah maju, kekuasaan terkandung erat dengan jabatan seseorang, seperti halnya presiden, perdana menteri dan jabatan lainnya. Namun penggunaan kekuasaan jabatan ini hanya efektif jika ditopang oleh kualitas pribadi dari pemegang jabatan tersebut. Sementara pada masyarakat tradisional, biasanya akan lebih menonjol kualitas pribadi daripada jabatan. Misalnya saja tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki pengaruh karena kharismanya.

Implisit dan Eksplisit

Kekuasaan implisit adalah pengaruh yang tidak dapat dilihat tetapi dapat dirasakan. Dimensi kekuasan implisit ini mengandung “asas memperkirakan reaksi pihak lain”. Contohnya, seorang anak sekolah membatalkan rencananya untuk berkemah sabtu minggu dan memutuskan untuk mengerjakan tugas-tugas sekolahnya karena takut akan dimarahi bapaknya. Sementara kekuasaan eksplisit/manifes adalah pengaruh yang jelas terlihat dan dapat dirasakan. Contoh dari kekuasaan eksplisit ini adalah ketika seorang polisi menghentikan seorang pengendara motor karena melanggar paraturan lalu lintas.

Langsung dan Tidak Langsung

Kekuasaan langsung adalah penggunaan sumber-sumber kekuasaan untuk mempengaruhi pembuat atau pelaksana keputusan politik dengan melakukan hubungan secara langsug. Sementara kekuasaan tidak langsung adalah penggunaan sumber-sumber kekuasaan untuk mempengaruhi pembuat atau pelaksana keputusan politik melalui perantaraan pihak lain yang diperkirakan dapat mempengaruhinya.

Pelaksanaan Kekuasaan

Setelah kita mengetahui apa itu kekuasaan dan seberapa besar sumber daya yang dimiliki seseorang, tentunya yang penting juga untuk kita bicarakan adalah bagaimana pelaksanaan atau pendayagunaan kekuasaan itu agar efektif.

Untuk memahami bagaimana penggunaan sumber daya dan bagaimana pelaksanaan kekuasaan secara efektif setidaknya perlu diperhatikan empat faktor, yakni; 1). Bentuk dan jumlah sumber daya; 2). Bagaimana pendistribusian sumber daya, dan; 3). penggunaan sumber daya tersebut, terakhir; 4). Bagaimana hasil penggunaan sumber daya terebut (Surbakti, 2010, h. 80). 

Charles F. Andrain (1992, h. 144) membagi dua kelompok bagaimana pendayagunaan kekuasaan ini, yakni; Pertama, menyangkut sumber daya, yang meliputi tiga variabel ; 1). jumlah dan distribusi sumber daya; 2). motivasi untuk mendayagunakan sumber daya demi tujuan politis; 3). keterampilan menggunakan sumber daya secara efektif. Kedua, menyangkut kepatuhan, yang meliputi dua variabel, yakni; 1). cakup kekuasaan, yakni kegiatan-kegiatan kehidupan yang dikendalikan oleh pemegang kekuasaan; dan 2). besarnya kekuasaan, yakni derajat pengendalian atas perilaku individu. 

Pada kesempatan ini, kita akan menggunakan penjelasan Andrain tentang begaimana mendayagunakan kekuasaan. 

Jumlah dan Distribusi Sumber Daya

Sebelum kita menggunakan kekuasaan yang perlu kita perhatikan adalah seberapa besar jumlah sumber daya yang kita miliki, dalam hal ini sumber daya yang sifatnya potensial. Sumber daya potensial ini bisa kita lihat dari sumber daya fisik, ekonomi, normatif, personal dan ahli sebagaimana kita telah ulas sebelumnya (lihat kembali di h. 3).

Setelah kita mengetahui seberapa besar jumlah sumber daya yang kita miliki, maka yang menjadi penting juga adalah bagaimana kita mendistribusikannya. Hal ini dikarenakan jumlah sumber daya potensial tidak bisa menjamin tingkat keberhasilan kita, apa bila dalam pendistribusiannya tidak efektif atau tidak mencapai sasaran. Di samping itu, kalkulasi tentang bobot dari sumber daya potensial juga perlu diperhatikan, karena tidak semua bobotnya sama. Misalnya saja, yang memiliki sumber daya potensial fisik, akan dengan mudah mengalahkan yang hanya mengandalkan sumber daya normatif saja. Jadi intinya jumlah dan distribusi serta bobot sumber daya potensial harus diperhitungkan.

Motivasi untuk Menggunakan Sumber Daya

Yang perlu dipahami adalah bahwa tidak semua sumber daya potensial dapat diaktualisasikan atau di konversi menjadi kekuasaan aktual. Karena itu, motivasi dalam pendistribusian sumber daya ini harus jelas hingga tidak salah sasaran. Jadi keputusan untuk menggunakan sumber daya dalam rangka untuk mencapai sasaran politik tergantung pada motivasi seseorang. 

Motivasi ini meliputi beberapa faktor, yakni; 1). Nilai penting yang dikaitkan dengan tujuan, yakni perasaan bahwa hal itu diinginkan; 2). Pengetahuan akan sasaran-sasaran untuk mencapai tujuan; 3). Tingkat ketergantungan pada strategi politik untuk mencapai suatu sasaran; 4). Keberhasilan yang diharapkan dalam mewujudkan tujuan, yakni perasaan memiliki kompetensi politik yang tinggi dan fatalisme politik yang rendah; 5). Pandangan mengenai biaya dan keuntungan yang mungkin dihasilkan dari perjuangan untuk mencapai tujuan tersebut.

Keterampilan Politik dan Penggunaan Sumber Daya

Jika motivasi untuk mencapai tujuan-tujuan politik mempengaruhi keputusan untuk menggunakan sumber daya, maka keterampilan politik dibutuhkan untuk mengorganisir sumber daya. Keterampilan yang dimaksudkan disini bukan kemampuan teknis yang digolongkan ke dalam kekuasaan ahli, tapi keterampilan politis untuk mempengaruhi keputusan-keputusan politik. Seperti halnya kemampuan menjalankan kekuasaan paksa dan konsensual.

Cakup dan Besarnya Kekuasaan

Cakup kekuasaan mengacu pada sektor-sektor masyarakat atau jenis-jenis kegiatan yang ditembus oleh alat-alat kekuasaan. Misalnya saja, pada masyarakat modern dan terindustrialisasi, individu-individu menjadi kurang mampu mencukupi kebutuhannya sendiri. Meningkatnya spesialisasi pekerjaan, tingkat ketergantungan dan maslah-masalah lain akan menciptakan tuntutan-tuntutan pada pemerintah untuk memberikan pelayanan sosial. Akibatnya, pemerintah mengambil tanggung jawab yang lebih besar di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi dan jaminan sosial. Jelas kegiatan ini meningkatkan cakup kekuasaan pemerintah. Dan perlu diingat adalah bahwa cakupan kekuasaan juga berpengaruh pada situasi politik suatu negara, apakah demokratis atau otoriter.

Sementara itu, besarnya kekuasaan dimaksudkan sebagai besarnya perilaku yang dimodifikasi dalam masing-masing individu. Yakni, apakah pemegang kekuasaan hanya mengendalikan tindakan-tindakan individu yang terbuka atau mengendalikan juga tindakan-tindakan yang tertutup atau tersembunyi dari individu. Biasanya pemimpin demokratis tidak berusaha untuk membentuk kembali kepribadian individu, tapi beda dengan pemimpin totalitarian yang berusaha mengubah wujud pribadi dan perilaku individu. Dan otokrat tradisional tampaknya hanya ingin mengubah kegiatan-kegiatan individu, tidak harus karakternya, persepsi subjektif atau sikap-sikapnya. Karena itu, biasanya pemimpin otoriter akan menggunakan kekuasaan pemaksa dan sumber daya fisik untuk mengendalikan individu. 

Distribusi Kekuasaan

Menurut Charles F. Andrain, para pengamat politik telah menciptakan beberapa model yang berbeda-beda untuk menganalisis distribusi kekuasaan. Menurut model elit berkuasa, sumber-sumber daya berpusat diantara sebagaian kecil orang. Sedangkan model pluralis, kekuasaan tersebar diantara beberapa kelompok sosial. Dan model populis mengemukakan sumber daya menyebar secara meluas di kalangan warga negara (1992, h. 154). 

Model Elit Berkuasa

Asumsi yang mendasari model ini adalah bahwa dalam setiap masyarakat tidak pernah terdapat distribusi kekuasaan secara merata. Mereka yang memiliki sumber daya kekuasaan dengan sendirinya memiliki kekuasaan politik, dan jumlah pemengang kendali atau kekuasaan politik itu sangat terbatas atau sedikit sekali jika dibandingkan dengan masyarakat secara umum dalam suatu negara. Asumsi kedua, jumlah orang yang memerintah lebih sedikit daripada orang yang diperintah. Itu sebabnya mengapa elit politik di rumuskan sebagai kelompok kecil orang yang mempunyai pengaruh besar dalam pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Asumsi ketiga, diantara elit politik terdapat kesamaan nilai dan berusaha mempertahankan nilai-nilai tersebut, yang berarti mempertahankan statsu sebagaielit politik (Surbakti, 2010, h. 95)

Jika melihat penjabaran diatas, hal ini mengandaikan bahwa dalam setiap struktur sosial selalu terdapat kelas-kelas sosial. Merujuk pada Gaetano Mosca (dalam Andrain, 1992, h. 155), bahwa dalam setiap masyarakat terdapat dua kelas yang menonjol, yakni kelas yang berkuasa dan kelas yang dikuasai. Kelas pertama atau kelas yang berkuasa selalu lebih sedikit jumlahnya, menjalankan semua fungsi politik, memonopoli kekuasaan dan menikmati sejumlah keuntungan yang dibawa oleh kekuasaan. Sementara kelas kedua atau kelas yang dikuasai selalu lebih banyak, diarahkan dan dikendalikan oleh yang pertama melalaui suatu cara yang kadang-kadang sedikit banyak bersifat sah, sewenang-wenang dan keras.

Menurut Surbakti (2010, h. 96), kelompok elit kalau ditelaah dari segi sifat dan karakternya dapat dibagi ke dalam tiga tipe. Pertama, elit politik yang dalam segala tindakan berorientasi pada kepentingan pribadi dan kelompoknya. Tipe elit ini cenderung tertutup dan menolak golongan yang bukan elit memasuki lingkungan elit. Kedua, elit politik liberal. Sikap dan perilakunya bersifat terbuka, dalam arti membuka kesempatan seluas-luasnya bagi setiap warga masyarakat untuk meningkatkan status sosialnya dan membiarkannya masuk ke dalam lingkaran elit. Ketiga, pelawan elit (counter elite). Tipe ini meliputi para pemimpin yang berorientasi pada khayalak baik dengan cara menentang segala bentuk kemapanan maupun dengan cara menentang segala bentuk perubahan. 

Model Pluralis

Asumsi yang mendasari model ini adalah bahwa setiap individu menjadi anggota, satu atau lebih kelompok sosial atau kekuatan sosial tertentu sesuai dengan aspirasi dan kepentingan; baik yang bersifat kultural dan ideologis maupun yang mendasarkan pada okupasi dan profesi, seperti aspirasi ekonomi. Kelompok kepentingan atau kekuatan sosial ini berfungsi sebagai wadah memperjuangkan kepentingan para anggota dan menjadi perantara antara para anggotanya, dan perantara anggota dengan pemerintah selaku pembuat dan pelaksana keputusan politik (Surbakti, 2010, h. 97-98).

Biasanya kelompok kepentingan ini bersifat otonom dan independen tanpa ada campur tangan dari pihak manapun termasuk pemerintah. Olehnya itu menurut model ini, kekuasaan dalam masyarakat akan terdistribusi secara relatif merata diantara kelompok kepentingan dan organisasi. Dan pemerintah hanya sebatas sebagai arena pertarungan kepentingan diantara kelompok sosial dan organisasi.

Model Kekuasaan Populer/Kerakyatan

Asumsi yang mendasari model ini adalah demokrasi. Artinya, partisipasi warga negara dalam proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik yang jelas akan mempengaruhi sendi-sendi kehidupan individu dan sosial dalam masyarakat (Surbakti, 2010, h. 99). Artinya, model ini mengandaikan setiap individu dari masyarakat memiliki kekuasaan dan kekuasaan itu dapat didistribusikan melalui saluran-saluran politik yang tersedia, misalnya pemilihan umum.

Referensi

Andrain, Charles F. Political Life and Social Change. Terj. Luqman Hakim, Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992.

Budiardjo, Miriam. Dasar – Dasar Ilmu Politik. edisi revisi. Cet. IV; Jakarta: Gramedia, 2009.

Dahl, Robert A. Modern Political Analysis. Terj. Mustafa Kamil Ridwan, Analisis Politik Modern. edisi lima. Jakarta: Bumi Aksara, 1994.

Lipset, Seymour Martin. Political Man: The Social Bases of Politics.Terj. Endi Haryono, Political Man: Basis Sosial Tentang Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Cet. VII. Jakarta: Grasindo, 2010.
Teori Kekuasaan 2 Teori Kekuasaan 2 Reviewed by Pondok Kanal on 1/12/2016 03:27:00 PM Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.