The End of the Free Market*

Akhir Pasar Bebas: Siapa Pemenang dalam Perang Antara Negara dan Swasta? (Edisi Terjemahan). Ian Bremmer. Jakarta: Gramedia Pustaka, 2011. 274 halaman.


Oleh 

Foto : fb. hary-al-azzam
Selalu ada pertanyaan hingga perdebatan mengenai bagaimana sebaiknya negara ini dikelola: oleh negara atau diserahkan kepada pasar. Seperti halnya sebuah hajatan, disajikan dalan nasi kotak atau secara prasmanan. Namun, kita semua boleh sepakat bahwa perjamuan tidak akan terasa nikmat tanpa menghidangkan kapitalisme. Buku ini berkaitan dengan bagaimana salah satu dari dua hal tersebut unggul atas yang lainnya. “The End of the Free Market: Who Wins the War Between States and Corporations?” adalah sebuah penjelasan yang dikemukakan oleh Ian Bremmer dalam sebuah buku yang diterbitkan pada 2010 mengenai kebangkitan dari Kapitalisme Negara di akhir dasawarsa pertama abad ini.

Tesis ini diawali pada pertanyaan-pertanyaan yang akan menentukan masa depan politik internasional dan perekonomian dalam beberapa tahun mendatang di abad 21. Pada bab satu, Ian Bremmer berpendapat bahwa setelah kejayaan kapitalisme pasar selama tiga dasawarsa – sejak takluknya komunisme pasca Perang Dingin 1991 sampai dengan krisis global di tahun 2008 yang melanda Amerika Serikat dan Eropa (seperti bangkrutnya Yunani) – telah muncul sebuah kapitalisme “baru” yang diperankan oleh negara. Jika sebelumnya, perusahaan-perusahaan multinasional yang dikendalikan oleh pemegang saham (individu/swasta) menguasai ekonomi dunia, kini, perusahaan milik negara (seperti Tiongkok, Rusia, Brasil, dan Arab Saudi) telah menjadi pemain penting dalam ekonomi pasar global. Bahkan pada awal 2009, tiga dari empat bank terbesar di dunia adalah bank milik negara: Industrial and Commercial Bank of China (ICBC), China Construction, dan Bank of China. Ian Bremmer menyimpulkan bahwa perusahaan-perusahaan Barat milik swasta tidak lagi menjadi actor utama dalam politik internasional dan pasar dunia, sebab sekarang negara sebagai pesaing terbesar mereka (hal. 17). Dari sinilah kemudian pertanyaan-pertanyaan yang muncul akan coba dijawab buku ini: apakah kapitalisme negara lambat laun akan melemahkan globalisasi?; apakah kapitalisme negara akan berumur panjang?; dan siapa yang akan menang, apakah kapitalisme pasar atau kapitalisme negara?

Pada bab dua, Ian Bremmer menuliskan bagaimana sejarah dari kapitalisme dunia. Ia pun mengajukan sebuah definisi kapitalisme: “penggunaan kekayaan untuk menciptakan kekayaan lebih besar” (hal. 23). Seperti kebanyakan ilmuwan lain, ia percaya bahwa kapitalisme lahir saat revolusi industry terjadi di Eropa. Bab ini juga mencoba membedakan apa sebenarnya yang dimaksud dengan kapitalisme negara dan perbedaannya terhadap merkantilisme, termasuk juga marxisme. Untuk memperjelas makna kapitalisme negara, Ian Bremmer melanjutkan penjelasannya dalam bab tiga: apa dan bagaimana terjadinya kapitalisme negara. Menurutnya, Kapitalisme Negara adalah sebuah sistem ketika negara mendominasi pasar, terutama untuk keuntungan politik (hal. 45). Tetapi, Ian Bremmer menyangkal bahwa kapitalisme negara sama dengan sosialisme.

Untuk dapat memahami perbedaan antara kapitalisme negara dengan kapitalisme pasar, sebuah kerangka “market spectrum” dibuat dengan dua sisi yang saling berseberangan yang dipengaruhi oleh sebuah ideology ekstrim (hal. 46). Sisi kanan adalah kapitalisme pasar dengan prinsip ekonomi pasar bebas dengan ideology libertarianisme murni. Sementara itu, sisi kiri adalah kapitalisme negara dengan prinsip ekonomi terpimpin dengan ideology komunisme murni. Dengan spectrum sederhana tersebut kita dapat menilai bagaiamana negara kemudian lahir sebagai kapitalisme negara atau pasar, bergerak ke kiri atau ke kanan. Jika sebelumnya kita percaya bahwa pasca Perang Dingin kekayaan public telah menjadi sejarah, dan kekayaan swasta adalah masa depan, maka sesungguhnya, saat ini, gelombang balik kekayan public telah menemukan momentum – meskipun bagi Ian Bremmer, kapitalisme negara telah mulai mengakar sebelum 1990-an. Hal ini ditandai dalam empat gelombang kapitalisme negara: pertama, nasionalisasi minyak (seperti dilakukan oleh Arab Saudi terhadap Saudi Aramco) pada 1970-an; kedua, pasar yang muncul dengan cepat di negara-negara emerging market pada 1980-an seperti Brasil, Rusia, India, dan China (BRIC); ketiga, kekayaan negara digunakan untuk kepentingan politik di negara-negara emerging market pada awal 2000-an; dan gelombang terakhir adalah krisis yang terjadi di Barat pada akhir 2000-an adalah peluang kebangkitan kapitalisme negara.

Pada bab empat, Ian Bremmer mendeskripsikan bagaiman konteks dari praktik kapitalisme negara di berbagai belahan dunia yakni Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Mesir, Aljazair, Ukraina, Rusia, India, Afrika Selatan, Nigeria, Meksiko, Brasil, Indonesia, Malaysia, dan Tiongkok (China). Untuk menguatkan tesisnya tentang kapitalisme negara, salah satunya banyak menjelaskan bagaimana kekuatan kapitalisme negara yang terjadi di Tiongkok. Yang dilakukan sejak era Mao sampai dengan Xiaoping melalui kekuasaan otoriter yang dimiliki oleh Partai Komunis. Melalui kebijakan kapitalisme ala nasionalis berbagai perusahaan-perusahan multinasional telah menjadikan Tiongkok sebagai negara pengekspor terbesar di dunia pada 2009. Di dua bab terakhir dari buku ini, menunjukkan jati diri dan siapa sebenarnya Ian Bremmer. Di dua bab ini, ia menyimpulkan bahwa kapitalisme negara adalah sebuah tantangan – mungkin lebih tepatnya disebut masalah – dan bagaimana menyelesaikannya. Sepertinya Ian Bremmer adalah pengagum Adam Smith dan penganut Tatcherisme. Ia percaya dengan apa yang dikatakan oleh Murray N. Rothbard bahwa “Saya sangat optimistis tentang masa depan kapitalisme pasar bebas. Saya tidak optimistis tentang kapitalisme negara…karena menurut saya, sistem itu akan pensiun.”

Membaca keseluruhan buku ini, ada banyak hal yang kembali menimbulkan pertanyaan dalam benak kita. Apakah lebih baik privatisasi atau nasionalisasi sumber-sumber kekayaan dalam sebuah negara. Jika kemudian keduanya menemukan masa-masa kejayaan dengan cerita sukses yang berbeda. Meskipun Ian Bremmer menganggap ini adalah perang dan kemudian bertanya, siapa yang akan menang, toh diantara keduanya saling mengalahkan dalam masa krisis yang dialami oleh masing-masing. Apa yang ditulis dalam buku ini mengingatkan kembali dengan karya Fukuyama seperempat abad yang lalu, “The End of History and The Last Man”. Fukuyama sebagian benar, sebagian keliru, jika memotretnya dalam fenomena yang ditulis oleh Ian Bremmer. Benar bahwa kapitalisme adalah “makhluk terakhir”, tetapi liberalisme bukanlah akhir dari sebuah sejarah. Tetapi, yakinlah bahwa kebanyakan dari rakyat baik di negara dengan kapitalisme pasar, maupun kapitalisme negara hanyalah penonton kemakmuran dan kemajuan ekonomi dunia. Di banyak negara, kapitalisme hanya memenuhi nafsu para oligarki. Di Indonesia misalnya, pada 2010, 2 warga kaya dapat menghidupi tidak kurang 1.000.000 warga lainnya, atau 40 oligark terkaya memiliki pendapatan lebih dari 630.000 kali pendapatan perkapita GDP Indonesia.

Melihat buku ini dalam sudut pandang sosiologi-politik, kita semakin percaya bahwa perubahan sosial hanyalah persoalan siklus (cyclical model of social change) seperti kata Khaldun dan Sorokin. Karena itu, kita bisa menyimpulkan bahwa politik adalah persoalan reinkarnasi, ia lahir, mati, dan hidup kembali dalam bentuk yang sedikit berbeda.

11 Ramadhan 1436 Hijriah

*Tulisan ini pernah dimuat sebelumnya di facebook Hary Al-Azzam (Haryanto Musi)



The End of the Free Market* The End of the Free Market* Reviewed by Pondok Kanal on 1/20/2016 05:45:00 PM Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.