Negara Paripurna dan Refleksi Diskusi Kelas

Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Yudi Latif. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2015. 701 halaman.


Oleh 

Foto :
www.kompasiana.com
Suatu ketika mahasiswa saya bertanya dalam sesi diskusi MK. Pendidikan Kewarganegaraan, yang pesertanya adalah mahasiswa baru. Kurang lebih pertanyaannya begini (versi redaksi memori saya) “Apakah Pancasila yang dibuat pada awal kemerdekaan, masih sesuai (relevan) digunakan sebagai pedoman di zaman “modern” seperti sekarang ini?” Satu, dua, bahkan tiga jawaban dari mahasiswa lain rupanya belum mampu menutupi keraguan si penanya tadi. Suasana pun gaduh. Mereka saling ngotot dengan argumentasi masing-masing. Semua teman si penanya berkata wajib, harus, mesti, tentu, Pancasila forever. Akhirnya, bermasam muka si penanya, dengan ketus berujar “iyo, saya terima mi pale.” Dan akhirnya, diskusi ditutup oleh moderator. Saya pun berdiri dengan semangat bercampur takut. “Apakah Pancasila dogma atau doktrin?” Belum sempat mahasiswa menjawab, saya melanjutkan celotehan: “Jika anda menganggap Pancasila adalah dogma, tentunya pandangan anda akan berbeda jika ia adalah doktrin!” Kelas hening sejurus, sepertinya mereka sedang berpikir keras. Saya membiarkan mereka saling berbisik sejenak, kemudian kembali bertanya “Jadi, Pancasila dogma atau doktrin?”. Seakan dengan komando seisi kelas kompak sedikit berteriak berkata “Doktrin!!!”. Saya bertanya lagi, “Jadi, Pancasila bisa di gugat?”. Masih kompak namun agak samar-samar “Bisaa!!!”. Dan kelas saya tutup, kabur meninggalkan mereka, menyisakan sebongkah kebimbangan dan sepercik laten makar.

Ketertarikan saya membaca dan mereview (meskipun masih dengan cara scanning) buku “Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila” yang ditulis oleh Yudi Latif ini diawali cerita singkat di atas. Diawali keraguan dan kebimbangan saya tentang pertanyaan mahasiswa yang jika saya simpulkan sendiri, redaksinya begini “apakah masih layak Pancasila kita pertahankan sebagai ideologi bangsa, disaat kearifan ideasional Pancasila tidak lagi nampak dalam entitas sosial terlebih dalam entitas politik kita saat ini?” Pertanyaannya sebenarnya simple, tapi butuh sebuah intelegensia persisten untuk memberikan jawaban yang nir common sense. Tidak seperti jawaban (dan secuil doktrin) saya di kelas tempo hari. Akhirnya, nasib kemudian mempertemukan saya dengan karya Yudi Latif ini di hari pertama 2016 ketika liburan di Gramedia MaRI bersama istri (cie.. liburannya toko buku. Cie2x.. romantis akademis tawwa J). Saya menganggap perlu membaca buku ini karena sebagai akademisi sekaligus warga negara yang baik, kiranya maujud saya menjadi tidak sia-sia sebab nampan, asap dapur serta tandas telah diberikan dari langit dan tanah negeri ini untuk daging dan tulang kepunyaan saya. Terdengar klise memang, meniru ideologi seperti kata Bung Hatta “memang benar pepatah Jerman ‘Der Mensch ist, war es ist’ bahwa sikap manusia sepadan dengan caranya ia mendapat makan.” Tapi, dibalik situ semua, yang penting adalah jika mahasiswa masih ada yang bertanya tentang hal serupa, kini saya sudah punya jawaban mumpuni (hehehe).

Kembali ke niat awal tulisan ini. “Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila” sebenarnya termasuk buku lama, dicetak pertama kali pada 2011 dan yang saya baca ini adalah cetakan kelima, desember 2015. Yudi Latif, si empunya buku adalah peneliti LIPI yang telah lama malang melintang dalam kajian sosiologi politik tanah air. Sebagaimana judul buku ini, Pancasila merupakan pembahasaan utama yang di paparkan berdasarkan tafsir atas asal muasalnya (historisitas), argumen pembenarannya (rasionalitas), dan laku kebangsaannya (aktualitas). Menurut Yudi Latif Pancasila dibangun dalam bentangan sejarah dimulai sejak tahun 1920-an hingga disahkannya pada 18 Agustus 1945. Dalam masa-masa tersebut atau dalam istilah Latif “fase pembuahan”, Pancasila dibuahi oleh berbagai pemikiran tokoh-tokoh Islam, Nasionalis Demokratis, dan Sosialis Komunis. Saya kira itulah alasan mengapa Bung Karno memproklamirkan NASAKOM – mengakomodir semua perbedaan ideologis dari para tokoh tersebut – walaupun terlambat dan di detik akhir kudeta tak berdarahnya. Meskipun kita enggan dan mengingkari NASAKOM, tapi itulah Pancasila. Silahkan anda telisik sendiri, tiap sila Pancasila adalah kepadanan NASAKOM. Lebih lanjut, buku ini mengeksplorasi Pancasila secara ontologis, epistemologis, dan aksiologis melalui dimensi historisitas, rasionalitas, dan aktualitas dalam lima bab, sesuai dengan jumlah sila dalam Pancasila. Silahkan anda baca sendiri untuk lebih jelasnya J.

Lantas, bagaimana nasib pertanyaan mahasiswa saya tadi. Mari kita lihat jawaban menarik dari Yudi Latif di bagian penutup buku ini: Yudi Latif mendaku bahwa dalam memahami, meyakini, dan mengamalkannya perlu diingat bahwa Pancasila bukanlah dasar statis, melainkan dinamis yang mesti responsif dengan perkembangan zaman. Pancasila senantiasa terbuka bagi proses pengisian dan penafsiran baru, dengan syarat memerhatikan semangat dasar yang terkandung di dalamnya serta kesalingterkaitan antarsila. Dan akhirnya, Pancasila mampu bertahan 70 tahun lebih enam bulan. Mengapa demikian, menurut saya karena NASAKOM tadi, ideologi yang masih bertahan dalam frame kebangsaan kita sampai detik ini. Tafsir, saran, dan kritik, bahkan upaya makar atas Pancasila hanya berputar disitu-situ saja: Nasionalisme Demokratis, Agama, dan Sosialisme Komunis. Campuran ketiga ideologi ini mampu meredam kemelut dan bersanding dengan perubahan di bangsa yang majemuk. Itulah mengapa bangsa ini mengherankan secara teoretis oleh para ilmuwan politik Barat. Negeri dengan 17.508 pulau, 746 etnis, dan 746 bahasa (bisa kurang bisa lebih), tetapi tak jua centang perenang. Kebinekaan ideologilah yang membuat bangsa ini bertahan, tidak berantakan. Kebinekaan itu NASAKOM! Eh… kebinekaan itu Pancasila!

“Yudi Latif orang yang peduli”, inilah kesimpulan saya tentang jerih payahnya menuliskan sebuah ideologi yang mungkin bagi kebanyakan orang (khususnya mahasiswa saya) sudah mulai usang oleh kapitalisme dan globalisme akut. Di saat telah banyak laku tetangga kita yang jauh dari nilai tenggang rasa. Di saat palagan politik kita hanya mementaskan dagelan yang ujung pangkalnya sama sekali tak lucu. Terlebih lagi kita semua tahu nilai-nilai ideal Pancasila jauh panggang dari api dengan realitas kekinian. Ideasional itu terlalu mulia untuk negeri yang borok bernanah di sekujur tubuhnya. Laksana peri suralaya dengan begundal-begundal penyamun bentala. Tapi, begitulah ideologi, gagasan pikir yang coba dirasionalisasikan lewat laku. Menjadi panacea nasionalisme, meskipun seringkali ia patah pucuk. Pastinya Yudi Latif (mungkin juga Bung Karno) akan menggerundel jika membaca paragraf ini, di saat mereka begitu optimis membumikan Pancasila, syak wasangka saya pesimis. Kita nir keteladanan dari seorang negarawan sejati. Meskipun saya harus mengakui bahwa Pancasila tak bisa dimakan waktu dan tak tergantikan untuk bangsa yang seperti ini. Paling tidak sampai dua generasi mendatang. Titik.

Itu saja hasil bacaan singkat (scanning read) saya tentang buku tafsir Pancasila ini – maaf kalau lebih banyak review-nya dibanding resume-nya. Terus terang buku ini “membosankan”, lihat saja lembarannya mencapai 700-an halaman. Sama bosannya dengan mendengarkan Pembina Upacara mengimlakan sila-sila Pancasila saban senin pagi sejak bocah hingga masa remaja kita. Bayangkan, 12 tahun pak!, eh.. bro! Dan untung saja, generasi sekarang tidak mengenal kosakata “bosan”, mereka tahunya cuma “bete”.
Negara Paripurna dan Refleksi Diskusi Kelas Negara Paripurna dan Refleksi Diskusi Kelas Reviewed by Pondok Kanal on 1/20/2016 06:01:00 PM Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.