Politik Identitas: Etnisitas


Ann Phoenix. 2010. Ethnicities. Dalam Margaret Wetherell & CT Mohanty (ed). 2010. The SAGE Handbook of Identities.

-------------

Inti utama dalam tulisan Phoenix adalah bagaimana meletakkan perdebatan identitas etnisitas dalam perspektif konstruksi sosial yang berfokus tidak hanya identitas etnis pada masa dewasa, tetapi juga pengalaman masa anak-anak dan remaja.

Dikemukakan bahwa tahapan dalam perkembangan identitas etnik dapat dilacak dengan merunut perkembangan teoritis yang bermula dari pendekatan Ereksonian yang menuju tahapan perkembangan Neo-Eriksonian. Salah satu ahli yang menguraikan hal ini (tahapan perkembangan identitas) adalah William Cross (1971). Model Cross dalam melihat orang negro, identitas rasial merupakan pengalam resosialisasi. Dimana idividu melalui 4 tahapan perkembangan yang disebut dengan tahapan Pre-encounter, encounter, emersion-immersion, dan internalisasi komitmen, sebagaimana model Erikson, pembelahan tahapan ini dapat mengurangi tahapan awal dalam kehidupan dewasa. 

Kemudian Jean Phinney (1992) mengembangkan penelitian etnisitas dalam berbagai variasi kelompok etnik minoritas dan pemuda berkulit putih. Model Phinney menjadikan identitas etnik sebagai identitas sosial dengan empat dimensi: identifikasi diri, pilihan/keterikatan, capaian identitas, perilaku etnik dan praktisi, dan orientasi yang lain. Phinney menentukan identitas etnik sebagai dinamika dan konstruksi multidimensional yang berasal dan dihasilkan dari pembagian latar belakang dan ikatan yang kuat. Phinney menemukan bahwa orang-orang yang berasal dari etnik yang sama dalam nilai-nilai mereka, kepercayaan, akan memiliki perilaku yang berbeda dari etnik atau kelompok yang lain serta kesetiaan (solidaritas) terhadap kelompok sendiri cenderung lebih tinggi.

Berdasarkan penelitian yang panjang mengenai etnisitas, seharusnya anak-anak tidak terstigma dan menjadi rasis, namun hasil penelitian di Inggris, Amerika, dan Kanada umumnya menemukan bahwa ras dan etnisitas dalam kehidupan anak-anak sering menonjol ketika umur dua atau tiga tahun. Rasisme dan etnisitas biasanya ditunjukkan untuk memperoleh sebuah dampak langsung dimana anak-anak mendefinisikan diri mereka dan orang lain melalui pengalaman mereka dan dengan cara mereka bertindak terhadap orang lain yang berbeda warna atau etnisitas. Hal itu juga ditunjukkan sebagai akibat cara orang lain berpikir dan bertindak terhadap mereka (Ogilvy et al, 1990, 1992; Sonuga Barke, 1993; Van Ausdale dan Feagin, 2001; Wright, 1992). Maka tidak heran, anak-anak berkulit hitam dan anak-anak Asia serta campuran hitam-putih dan Asia-keturunan putih adalah subjek dari banyak diskriminasi rasial dan karenanya lebih mudah menerima diskursus mengenai “ras” dan rasisme. 

Etnisitas bagi diri anak-anak, juga dapat dilihat dalam preferensi anak dalam pemilikan jenis mainan. Dua psikolog berkulit hitam, Kenneth dan Mamie Clark (1939, 1947) mempelajari 253 anak “Negro”, dan tes berisi empat elemen: kepedulian ras anak-anak termasuk pengakuan atas warna kulit boneka; anak kulit hitam mampu mengidentifikasi diri mereka dalam term rasial. Clark menyimpulkan bahwa banyak anak kulit hitam ingin menjadi putih karena mereka melihat bahwa masyarakat memiliki pandangan buruk mengenai ras mereka dan akibatnya mengalami perasaan rendahnya harga diri mereka. Banyak studi yang berbicara mengenai rendahnya harga diri dan kerusakan mental pada anak-anak kulit hitam (Hutnik, 1991) dan fakta bahwa anak-anak muda memilih teman berdasarkan warna kulit yang sama dengan mereka. 

Penelitian tentang preferensi rasial pada anak-anak mengindikasikan bahwa rasialisasi dan etnisitas berdampak pada anak-anak dan selanjutnya mempengaruhi bagaimana mereka merasa dan bagaimana mereka melihat dunia sosial. Terdapat beberapa bukti nyata bahwa anak-anak memiliki pemahaman atas perbedaan nasional sejak awal kehidupan mereka (Barret, 2007). Meskipun, secara kontras, banyak diskursus yang mengatakan bahwa anak-anak itu “buta warna” (Williams, 1997). Berdasarkan argument ini, tidak hanya anak-anak yang buta warna, tetapi mereka juga peduli terhadap anak-anak lain dengan tidak berdasarkan perbedaan warna diantara mereka (Carrington dan Short, 1989). 

Penolakan atas “ras” sebagai isu untuk anak-anak muda utamanya dilakukan di sekolah yang didominasi oleh anak-anak kulit putih (Gaine, 2006), bagaimanapun diskurusus tentang rasisme dan rasis berdampak pada peraturan-peraturan. Anak-anak di sekolah kulit putih dapat juga peduli dalam pemahaman mereka tentang rasisme dan pemahaman mereka bisa saja berasal dari guru. 

Van Ausdale dan Feagin, (2001) menemukan bahwa anak-anak kulit putih menggunakan rasial, dan sebutan kebangsaan. Dimana mereka focus pada ciri rasial seperti warna kulit, ciri wajah dan terkadang mendiskriminasi. Anak-anak kulit hitam dan keturunan kulit putih menggunakan cara berbeda untuk mengidentifikasi diri mereka dan bersepakat dengan rekan-rekan kulit putih untuk memposisikan mereka. Van Ausdale dan Feagin juga mendemonstrasikan bahwa anak umur tiga tahun belajar mengidentifikasikan diri mereka dan orang lain secara rasial, etnis, bahasa, kebangsaan, dan menegosiasikan identitas, terkadang menggunakan semua itu sebagai sumber interaksi untuk masuk atau keluar dari definisi akan etnis mereka. Mereka berargumen bahwa anak-anak sebagai aktor sosial mampu mereproduksi dan menggugat sistem sosial yang tidak setara dan menciptakan cara baru dalam menegosiasikan identitas etnisitas. Sejak anak-anak tidak konsisten diluar atau bertahan dalam negosiasi etnis, boleh jadi mereka terlalu muda untuk memiliki pemahaman atas etnisitas atau konsisten dalam memandang dunia dan murni dalam rasialisasi dan etnisitas. Kontradiksi mungkin terjadi di kelompok dengan usia lebih tua. Orang dewasa juga ditemukan cepat memiliki ide yang kontradiktif tentang orang-orang dari kelompok etnis yang berbeda. 

Dalam perkembangan studi etnisitas, Stuart Hall (1992) menciptakan istilah 'etnis baru' untuk sinyal bahwa setiap orang multiple (beranekaragam), identitas terpusat yang kompleks dan terletak di periode sejarah tertentu dan lokasi geografis. Ia berpendapat bahwa identitas budaya dan etnis tidak bebas mengambang. Mereka memiliki sejarah, namun berubah seiring waktu sehingga mereka tidak didasarkan pada pemulihan dari masa lalu. Hall berfokus pada keragaman, kompleksitas, kontradiksi, transformasi dan situasi telah menghasilkan debat teoritis, dan tantangan kerja empiris. Dalam beberapa tahun terakhir, para peneliti dalam tradisi etnis baru menjadi tertarik untuk menjelajahi lebih jauh dimensi psikososial dari identitas ethnicised, sebagaimana kita temukan dalam karya Ali Rattansi (2007) dan Gunaratnam dan Lewis (2001).

Terakhir dalam tulisan Phoenix, dikemukakan sekaligus harapan bahwa keterpilihan dan pelantikan Barrack Obama menguraikan kemungkinan baru untuk menerjemahkan kembali identitas ethnicised dalam kehidupan sebagai sesuatu yang biasa dan wajar bukan untuk membenarkan konflik kekerasan dan budaya rasis berlanjut menjadi hal biasa.
Politik Identitas: Etnisitas Politik Identitas: Etnisitas Reviewed by Pondok Kanal on 1/13/2016 04:07:00 PM Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.