Petani dan Resistensinya

Eric R. Wolf mendefiniskian petani sebagaimana dikutip oleh Landsberger & Alexandrov (1984:10) sebagai:

Penduduk yang secara eksistensi terlibat dalam cocok-tanam dan membuat keputusan yang otonom tentang proses cocok-tanam. Kategori itu dengan demikian mencakup penggarapan atau penerima bagi hasil maupun pemilik-penggarap selama mereka ini berada pada posisi pembuat keputusan yang relevan tentang bagaimana pertumbuhan tanaman mereka.

Foto: http://www.mimbarindonesia.com/
Sementara Antonio Gramsci (Morton, 2008:156) menyebut petani sebagai kelompok subaltern. Hal ini didasarkan analisisnya terhadap petani di Italia Selatan yang dari segi kapasitas kesadaran kelasnya masih lemah. Perbedaan Wolf dengan Gramsci adalah bahwa Wolf dalam definisinya masih menekankan arti penting bagi penguasaan alat produksi material (infrastruktur), sementara Gramsci memasuki ranah kesadaran politik, alat produksi simbolik (suprastruktur). 

Antonio Gramsci memaknai subaltern dengan secara bergantian menggunakan istilah subordinat dan instrumental untuk mendeskripsikan kelas yang non-hegemonik. Penggunaan kedua istilah tersebut - menurut beberapa komentator - secara bergantian digunakan oleh Gramsci sebatas kode-kata untuk menyelundupkan manuskripnya yang saat itu dalam bayang-bayang sensor penjara di bawah pemerintahan fasis Mussolini. Namun secara umum, subaltern dipahami sebagai kelompok petani yang tingkat pencapaian kesadaran sosial-politiknya sangat lemah atau dengan kata lain kelompok sosial yang belum mencapai kesadaran kelas (Morton, 2008:156-157).

Subaltern dalam pandangan Gramsci adalah kelompok inferior, dimana dalam struktur relasi kekuasaan mereka menjadi subjek yang terhegemoni. Mereka tidak punya akses untuk merepresentasikan dirinya ke dalam struktur kekuasaan. Olehnya itu, kelompok subaltern hanya berada di tepi pusaran kekuasaan yang menyebabkan suaranya sering terabaikan (Suryawan, 2013:69). Sekalipun mereka belum mencapai kesadaran kelas sebagaimana Gramsci utarakan, bukan berarti tidak ada ruang bagi partisipasi politik aktif. Karena toh, mereka bisa bangkit secara progresif jika mendapatkan suplai kekuatan penggerak diluar dirinya. Sebagaimana akan dijelaskan dalam studi ini, bahwa petani Pulau Jampea sebagai subaltern hanya membutuhkan momentum dan penggerak instrumental untuk bangkit secara bersama-sama menyuarakan aspirasinya dengan menuntut negara agar adil dalam menilai kebutuhan petani.

Sekalipun Gayatri C. Spivak mengatakan bahwa kelompok subaltern tidak dapat berbicara meski mereka telah mencoba untuk berbicara (Hartiningsih & Pambudy, 2009), dalam konteks itu Petani Jampea mengalami hal yang sama. Akan tetapi bukan berarti menolak untuk (ingin) berbicara, karena itu dibutuhkan instrument lain untuk merangkul mereka dan mengajak untuk bicara. Petani Jampea sebagai subaltern tidak memiliki keberanian untuk berbicara secara langsung sekalipun “ingin”. Pada hakikatnya mereka tahu bahwa rencana pertambangan pasir besir di Pulau Jampea akan mengancam lahan pertanian mereka yang menjadi sumber kehidupan bagi diri dan keluarganya. Hanya saja mereka buta dalam rancangan taktis bagi penolakan atas rencana pertambangan tersebut. 

Secara teoritis, menurut Gayatri C. Spivak (Widayanti, 2009: 22) untuk memahamai subaltern setidaknya diletakkan kedalam karakteristik adanya penekanan. Lebih lengkapnya sebagaimana dikutip Widayanti, disebutkan:

Subaltern merupakan sebuah kata untuk mendefinisikan penekanan. Pengertian lainnya dapat ditujukan pada seseorang yang tidak mendapatkan bagian dari “potongan kue”….dalam istilah poskolonialisme, segala sesuatu yang dibatasi atau tidak memiliki akses untuk imperialism budaya (penguasaan budaya) disebut subaltern – sebuah ruang dari perbedaan (Widayanti, 2009:22).

Adanya penekanan menyebabkan kelompok subaltern tidak punya ruang untuk menyuarakan kondisinya, sehingga kelompok intelektual dituntut untuk turun mewakilinya. Hal ini sejalan dengan pandangan Marx (Fajrin, 2011:13) bahwa petani tidak dapat memperjuangkan kepentingan mereka atas nama mereka sendiri dan terutama mereka tidak mampu merepresentasikan diri mereka kedalam sebuah kelas, karena itu mereka harus diwakilkan. Kaitannya dengan kelompok intelektual, kelompok intelektual (aktor) yang seperti apa yang harus mewakili suara subaltern?. Menurut Spivak, kelompok intelektual yang memiliki “pesimisme intelek dan optimisme kemauan”: skeptisisme filosofis dalam memulihkan keagenan kelompok-kelompok subaltern yang disertai sebuah komitmen politis untuk menunjukkan posisi mereka yang terpinggirkan (Antariksa, 2009). Oleh karena itu tugas kelompok intelektual adalah datang bukan untuk mencari suara subaltern, karena mereka tidak bersuara, melainkan hadir untuk mewakili mereka.

Namun di sisi lain jika sekedar mewakili tanpa melibatkan kelompok yang disebut sebagai subaltern tersebut, sama saja kita melakukan pembiaran atas kondisi yang mereka hadapi. Mungkin secara praktis, kelompok intelektual dapat meringankan penderitaan subaltern akan tetapi tidak berkontribusi bagi lahirnya kesadaran mereka akan pentingnya partisipasi (bersuara) dalam ranah sosial-politik. Studi ini, sekalipun kesannya melebih-lebihkan, menganggap bahwa pelibatan petani sebagai kelompok subaltern dalam aksi kolektif untuk menyuarakan kepentingan mereka menjadi penting bagi tahapan perkembangan kesadaran mereka. Mengapa ini penting dilakukan?, mengingat lemahnya kesadaran politik petani sebagai subaltern, menyebabkan keinginan mereka untuk melawan juga menjadi lemah. Pandangan Wolf yang dikutip Fajrin (2011:13) mengatakan bahwa petani pada dasarnya tidak mempunyai keinginan untuk melakukan perlawanan kecuali ada tekanan atau krisis yang sangat menekan mereka dan adanya pihak luar yang mendorong mereka untuk melakukan hal tersebut. 

James C. Scott (1981) dalam studinya tentang petani di Asia Tenggara menyebutkan bahwa salah satu kondisi yang dapat melahirkan perlawanan bagi petani selain dari tekanan-tekanan eksploitasi adalah kerawanan struktural petani, seperti masalah ekologi, sistem harga dan monokultur. Terjadinya perubahan ekologis dapat berpengaruh terhadap berhasil atau gagalnya panen mereka. Sehingga tanpa adanya perubahan (turunnya) harga pasar, sudah mengancam subsistensi para petani. Bagi Scott, apapun bentuk gerakan petani pada dasarnya merupakan upaya untuk kembali dalam kehidupan yang menjamin adanya “keamanan subsistensi” sebelum system ekonomi pasar memporak-porandakannya (Pratikto, 2000:14). Dalam pendekatan ekonomi moral, keamanan subsistensi ini dinamakan prinsip dahulukan selamat (safety first), dimana petani enggan mengambil resiko dan lebih memusatkan diri pada usaha menghindari jatuhnya produksi, bukan pada usaha maksimalisasi keuntungan (Popkin, 1986:6). 

Namun pendekatan ekonomi moral James C. Scott yang mengutamakan “dahulukan selamat” ini mendapat kritikan dari Samuel L. Popkin. Popkin melihat bahwa persoalan subsistensi dan kerawanan terlalu didramatisir, dan lebih lanjut dikatakan bahwa: “kita tidak perlu mendramatisir krisis-krisis subsistensi sebelum petani-petani di daerah-daerah feodal atau subsistensi akan mendukung gerakan-gerakan revolusioner. Para petani di daerah subsistensi mungkin kurang kecenderungannya untuk mendirikan organisasi-organisasi baru oleh mereka, tapi apabila sekutu-sekutu dari luar desa tersedia untuk menyediakan pendorong awal maka mereka akan menjadi revolusioner, bahkan menjadi lebih revolusioner, dibandingkan dengan petani-petani di pusat-pusat komersial” (Popkin, 1986:23). 

Pandangan Popkin sejalan dengan pandangan Marx dan Spivak bahwa kehadiran kelompok eksternal menjadi penting sebagai usaha untuk mendorong terjadinya perubahan/gerakan sosial bagi petani atau subaltern. Hanya saja, Popkin melihat bahwa petani memiliki kapasitas rasional dan mampu mengartikulasikan kepentingan mereka, hanya saja butuh infrastruktur sebagai pendorong. Sementara Spivak memahami subaltern tidak berbicara dan intelektual sebagai agen yang hadir sekedar untuk mewakili suara-suara subaltern.

Saya lebih sepakat pada pandangan Popkin dalam melihat kasus petani Jampea di Kepulauan Selayar. Bahwa mereka yang selama ini tidak berbicara memiliki kemampuan tersembunyi untuk memobilisasi diri jika infrastruktur pendorong disediakan. Hadirnya kelompok intelektual terutama dari kalangan mahasiswa pada tahun 2012 yang menyikapi rencana pertambangan di Pulau Jampea ikut mendorong partisipasi petani untuk menyuarakan aspirasinya. 

***

Referensi

Antariksa. 2009. Intelektual, Gagasan Subaltern, dan Perubahan Sosial. Diunduh dari http://kunci.or.id/articles/intelektual-gagasan-subaltern-dan-perubahan-sosial-oleh-antariksa/.

Fajrin, Mochammad. 2011. Dinamika Gerakan Petani : Kemunculan dan Kelangsungannya (Desa Banjaranyar Kecamatan Banjarsari Kabupaten Ciamis). Skripsi, tidak diterbitkan. Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Hartiningsih, Maria & Ninuk Mardiana Pambudy. 2009. Membaca Gayatri Chakravorty Spivak. Diunduh dari http://kunci.or.id/articles/membaca-gayatri-chakravorty-spivak/.

Landsberger, Henry A. & Yu. G. Alexandrov. 1984. Pergolakan Petani dan Perubahan Sosial. Cet. 2. Jakarta: CV. Rajawali.

Morton, Stephen. 2008. Gayatri Spivak: Etika, Subaltern dan Kritik Penalaran Poskolonial. Yogyakarta: Pararaton.

Popkin, Samuel L. 1986. Petani Rasional. Jakarta: Yayasan Padamu Negeri. 

Pratikto, Fadjar. 2000. Gerakan Rakyat Kelaparan: Gagalnya Politik Radikalisasi Petani. Yogyakarta: Media Pressindo bekerjasama Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation.

Scott, James C. 1981. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES.

Suryawan, I Ngurah. 2013. Kiri Bali: Sepilihan Esai Kajian Budaya. Yogyakarta: Kepel Press kerjasama Universitas Negeri Papua.

Widayanti, Titik. 2009. Politik Subaltern: Pergolakan Identitas Waria. Yogyakarta: Research Center for Politics and Government Jurusan Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada.
Petani dan Resistensinya Petani dan Resistensinya Reviewed by Pondok Kanal on 1/13/2016 05:35:00 PM Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.