Karir dan Aksi Politik Kahar Muzakkar (3)

3. Darul Islam/Tentara Islam Indonesia

Masuknya Kahar Muzakkar ke dalam hutan belantara Sulawesi Selatan tidak terlepas dari andil Andi Sose yang merupakan tokoh penting dalam KGSS, dimana Andi Sose memprakarsai penculikan Kahar Muzakkar ke dalam hutan dan dicurigai bahwa penculikan ini atas restu Kahar Muzakkar sendiri (Usman, 2009, h. 76; Dijk, 1983, h. 157). Perjalanan selanjutnya, Andi Sose memilih bergabung dengan APRIS dan berpisah secara resmi di Baraka Enrekang dan saat itu juga terjadi tembak menembak antara pasukan Kahar Muzakkar dengan pasukan yang di pimpin Andi Sose (Saksi Hidup TV 7, 2006).

Keluarnya Kahar Muzakkar dari APRIS, tidak membuat daya kreatifitasnya sebagai seorang pemimpin menurun. Ia sempat membentuk Partai Pantjasila Indonesia (PPI), dimana partai ini dijadikan sebagai alat untuk menggalang dukungan bagi perjuangannya. Namun, setelah Sulawesi diproklamirkan pada tanggal 7 Agustus 1953 sebagai bagian Negara Islam Indonesia, PPI berubah nama menjadi Partai Islam Revolusioner. Partai Islam Revolusioner ini memiliki organisasi massa lain yakni Gerakan Wanita Islam Revolusioner yang dipimpin langsung Corry van Stenus dan Barisan Tani Islam Revolusioner.

Foto : www.luwuraya.net
Pokok pendirian yang berdasarkan firman Tuhan itulah maka di muka gerbang Revolutie Islam Indonesia bagian Timur pada dua tahun lalu, kita semua dengan tidak mengenal istilah “Politiek Ragu” bersama-sama mencari djalan seia sekata dan membulatkan tekad atas hasil musjawarah kita membentuk Partai Islam Revolusioner, Barisan Tani Islam Revolusioner dan Gerakan Wanita Islam Revolusioner jang kita beri nama dalam masa penggalangan dan masa peralihan jaitu PARTAI TRI-SIL, dan GERWIN (Lahade, 1954-1957).

Antara tahun 1951 – 1952, telah terjalin kontak antara Kartosuwirjo dengan Kahar Muzakkar (Lahade, 1953). Buchari yang menjabat sebagai wakil ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia dan Abdullah Riau Soshby salah seorang pimpinan Tentara Islam Indonesia (TII) Jawa Barat mendesak agar Kahar Muzakkar membentuk “Komandemen TII” di Sulawesi. Dan disusul dengan surat pribadi Kartosuwirjo kepada Kahar Muzakkar yang menawarkan kepadanya sebagai pimpinan TII di Sulawesi. Secara resmi tawaran ini diterima oleh Kahar Muzakkar pada tanggal 20 Januari 1952.

Disisi lain, M. Bahar Mattalioe selaku orang terdekat Kahar Muzakkar melakukan komunikasi dengan kurir yang diutus oleh Arnaz. Arnaz sendiri merupakan calon Panglima DI/TII ketika itu. Hasil dari komunikasi tersebut menjadikan M. Bahar Mattalioe (1994, h. 177-183) menganjurkan agar Kahar Muzakkar segera memproklamirkan Negara Islam.

Berkas dokumen Darul Islam yang kuperoleh dari Arnaz itu segera kukirimkan kepada Kahar Muzakkar melalui kurir khususku yang bernama Abd. Samad Hasbi, disertai sebuah surat pengantar memohon agar Kahar Muzakkar bersedia mempelajari isi dokumen itu, disamping mendesaknya agar ia segera memproklamasikan berdirinya negara Islam di Sulawesi Selatan. Selanjutnya, aku tekankan kepadanya bahwa apabila memang ia tidak mengimpikan lagi untuk kembali kepangkuan Republik Indonesia maka dalam tempo singkat harus memproklamasikan berdirinya negara Islam di Sulawesi Selatan ini.

Tahun ke tiga pasca pengunduran Kahar Muzakkar dari APRIS. Kahar Muzakkar melakukan pertemuan di Makalua pada tanggal 7 Agustus 1953 dan disepakati penggabungan diri dengan Darus Islam Jawa Barat pimpinan Kartosuwirjo dan hari itu juga di proklamirkannya Sulawesi Selatan dan sekitarnya sebagai bagian Negara Islam Indonesia, dan sejak saat itu Kahar Muzakkar diangkat menjadi Panglima Divisi IV Tentara Islam Indonesia (Hamid, 2009, h. 30-33).

Sejak awal gerakannya, telah terjadi pertentangan-pertentangan dalam tubuh pasukan Kahar Muzakkar. Misalnya, pertentangannya dengan Andi Selle menyangkut peresmian KGSS menjadi APRIS. Hal ini menyebabkan Andi Selle keluar dari barisan Kahar Muzakkar dan bergabung dengan APRIS pada tanggal 7 Agustus 1951 (Dijk, 1983, h. 170). Selanjutnya, Andi Sose sebagaimana dijelaskan sebelumnya juga keluar dari barisan pasukan Kahar Muzakkar pada tahun 1952. Dimana Andi Sose resmi masuk kedalam Corps Tjadangan Nasional (CTN) yang terakhir berubah nama menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) (Gonggong, 1992, h. 182 – 183). Begitupun Saleh Syahban yang merupakan orang terdekat Kahar Muzakkar ketika berjuang di Jawa memilih tunduk pada keinginan pemerintah. Demikian juga dengan Usman Balo dan Hamid Gali, yang merupakan bawahan Kahar Muzakkar memilih berdiri sendiri tanpa intervensi Kahar Muzakkar.

Tahun-tahun selanjutnya, Kahar Muzakkar semakin gencar melakukan perlawanan terhadap tentara Indonesia sekaligus mensosialisasikan NII kepada masyarakat Sulawesi Selatan. Walaupun sedikit demi sedikit bawahannya banyak menggabungkan diri dengan pemerintah dan yang terparah adalah sebagian pasukan Kahar Muzakkar melakukan tindakan yang tidak terpuji, dimana melakukan perampokan di rumah-rumah penduduk. Entah Kahar Muzakkar tahu atau tidak tahu atas persoalan ini, paling tidak bahwa Kahar Muzakkar sebagai tokoh sentral dalam gerakan atau pemberontakan tersebut.

Sementara itu, Darul Islam secara umum semakin memperkuat diri dengan jalan mengangkat Duta Besar di Singapura yakni H. Abubakar serta mengangkat Hasan Muhammad Tiro sebagai Duta Besar untuk Amerika Serikat (Mattalioe, 1994, h. 206) yang bertugas untuk membuka perwakilan di Perserikatan Bangsa-Bangsa walaupun pada akhirnya gagal diterima sebagai anggota. Hasan Muhammad Tiro mendesak pemerintah Indonesia untuk menghentikan agresi terhadap daerah-daerah yang dikuasai oleh DI/TII.


... Menurut harian Pikiran Rakyat Bandung, yang terbit pada tanggal 4 September 1954, bahwa surat Hasan Muhammad yang bertanggal New York, 1 September 1954, berisi antara lain meminta agar Kabinet Ali menghentikan agressi terhadap Rakyat Aceh, Rakyat Jawa Barat, Jawa Tengah, Rakyat Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Rakyat Kalimantan. Selanjutnya dimintaa agar Perdana Menteri Ali membebaskan semua tahanan politik di Aceh, Sumatera Selatan, Jawa barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Kalimantan dan Maluku. Juga diminta agar Kabinet Ali Berunding dengan Teungku Muhammad Daud Beureueh, S.M. Kartosuwiryo, Abdul Kahar Muzakkar dan Ibnu Hajar (Hasjmy, 1985, h. 458).


Usaha-usaha untuk mempertahankan proklamasi 7 Agustus 1953 Kahar Muzakkar semakin gencar mempermantap pasukannya. Pada tahun 1957, Kahar Muzakkar bersama pengikutnya melakukan pertemuan di Gilireng Wajo, yang disebutnya Pertemuan Urgensi Perdjuangan Islam Revolusioner (PUPIR). Hasil dari pertemuan ini adalah adanya rencana pembentukan pasukan khusus dan menjadi pengawal Kahar Muzakkar, yakni Moment Mobile Komando (Momok) Ansharullah. Ini merupakan upaya reorganisasi dalam Tentara Islam Indonesia (TII). Sementara itu, Bahar Mattalioe ( Komandan Divisi 40.000 TII) menolak pasukannya dilebur ke dalam Momok tersebut. Inilah cikal bakal pertentangan antara Kahar Muzakkar dengan Bahar Mattalioe yang semakin melebar dimasa-masa yang akan datang dan akhirnya Bahar keluar dari barisan TII pada tanggal 12 September 1959. Disebutkan pula bahwa yang meperparah perpecahan ke dua tokoh ini disebabkan oleh penggabungan tentara Permesta ke dalam TII (Gonggong, 1992, h. 188 – 190).

Pada akhir-akhir tahun 1959, terjadi upaya penggabungan antara PRRI/Permesta dengan DI/TII yang dimulai dengan pengakuan atas kedaulatan Darul Islam. Maka terjadilah kesepahaman antara PRRI/Permesta dengan DI/TII yang berarti untuk pertama kalinya pengakuan dari luar tehadap eksistensi Darul Islam. Pada tahun 1960, secara resmi Republik Persatuan Indonesia (RPI) diproklamirkan sebagai penggabungan antara dua negara, yakni DI/TII dengan PRRI/Permesta. Namun pemerintahan baru ini berusia pendek yang disebabkan oleh beberapa pimpinannya di Sumatera menyerahkan diri ke pemerintah Indonesia. Ketika mengetahui langkah-langkah yang ditempuh oleh para pimpinan RPI, Kahar Muzakkar menunjukkan ketidaksenangannya kepada para pemimpin tersebut. Kata-katanya dikutip dari buku Revolusi Ketatanegaraan Indonesia Menudju Persaudaraan Manusia yang ditulis Kahar Muzakkar oleh Anhar Gonggong (1992, h. 196).

Dan lebih sulit lagi masuk akal bagi segala orang bahwa pimpinan PRRI-PERMESTA jang telah berbuat ladju dalam pemberontakan dan perdjoangannja, memproklamasikan berdirinja Negara Republik Persatuan Indonesia (Federal Republik of Indonesia) pada tanggal 8 Februari 1960, tanggung djawab atas RPI itu dilepaskan dan ditinggalkan begitu sadja dengan tiada memberi pertanggungan djawab kepada Rakjat Indonesia.

Sekalipun para pimpinan RPI menyerahkan diri ke pangkuan Republik Indonesia, Kahar Muzakkar tetap pada pendiriannya untuk berjuang di dalam hutan Sulawesi. Pada periode tahun 1960-1961, perjuangan DI/TII secara umum mengalami kemunduran yang disebabkan oleh pertentangan yang terjadi antara sesama pejuang DI/TII. Belum lagi banyaknya pasukan Kahar Muzakkar yang menyerahkan diri ke pangkuan Republik Indonesia. Disisi lain terjadi pertentangan antara Kartosuwirjo sebagai Imam DI/TII dengan Kahar Muzakkar sebagai pimpinan gerakan DI/TII di Sulawesi.

Situasi ini membuat Kahar Muzakkar memilih jalannya sendiri tanpa dukungan dari DI/TII di Jawa Barat maupun dari PRRI. Kahar Muzakkar tetap melangkah dengan pilihan yang diyakininya.

Karir dan Aksi Politik Kahar Muzakkar (3) Karir dan Aksi Politik Kahar Muzakkar (3) Reviewed by Pondok Kanal on 1/19/2016 09:47:00 PM Rating: 5

1 comment:

Powered by Blogger.